Surat Kaleng Ala Pemain Kaleng-Kaleng
Penulis : Fadhli Irman, Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (Gerpala)
OPINI - Sebuah surat kaleng mampir ke meja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Aceh Selatan. Tanpa nama, tanpa alamat, tanpa keberanian. Isinya berupa dugaan pelanggaran dalam proses penerimaan tenaga honor di lingkungan Dinas Pendidikan. Namun yang lebih menarik dari isi surat itu bukanlah substansinya, melainkan kepada siapa surat itu dikirimkan. Bukan ke Dinas Pendidikan, bukan ke BKSDM, bukan ke lembaga pengawas internal pemerintahan, melainkan ke salah satu organisasi profesi wartawan, tempat di mana isu bisa menjadi berita, dan berita bisa membentuk opini.
Di sinilah letak keanehan yang menimbulkan aroma tak sedap. Sebuah pengaduan administratif disalurkan melalui jalur non administratif, dan dengan cara yang paling kabur yakni anonim. Dalam dunia komunikasi publik, setiap pesan tanpa identitas adalah bentuk kejahatan kecil terhadap akal sehat. Ia berisik, tapi tak bertanggung jawab, ia lantang, tapi tak jujur pada dirinya sendiri.
Namun di Aceh Selatan khususnya fenomena seperti ini bukan hal baru. Surat tanpa nama kerap muncul setiap kali isu mulai memanas kadang soal proyek, kadang soal jabatan, dan kini soal rekrutmen tenaga honorer. Biasanya, surat kaleng muncul di momen ketika kebenaran sedang bernegosiasi dengan kepentingan. Dan di saat itulah, kalimat anonim menjadi senjata paling murah untuk menyerang, tanpa risiko bagi penyerangnya.
Bahkan, tak tertutup kemungkinan surat semacam ini bukan datang dari “masyarakat” seperti yang diklaim, melainkan justru dibuat atau “dipesan” oleh pihak-pihak yang berkepentingan, bahkan terkadang termasuk mereka yang menerima surat itu sendiri. Sebuah strategi lama dalam permainan opini yang menciptakan musuh semu agar tampak sebagai pihak yang diserang. Dalam dunia politik lokal, taktik seperti ini sering disebut “panggung bayangan”, dimana bermain peran ganda antara korban dan pemain isu.
Dalam konteks ini, surat kaleng bukan sekadar kertas tanpa nama, tapi cermin dari budaya manipulasi informasi. Ia digunakan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menciptakan narasi. Dalam istilah klasik komunikasi, ini disebut agenda setting, dengan mengarahkan opini publik agar fokus pada isu yang diciptakan, bukan pada fakta yang sebenarnya terjadi.
Surat kaleng itu seperti pemain kaleng-kaleng. Ramai bunyinya, tapi isinya kosong. Kalau memang punya bukti, datanglah dan bicaralah dengan data, bukan bersembunyi di balik anonim.
Pernyataan ini bukan sekadar sindiran, melainkan peringatan keras terhadap cara berkomunikasi yang tidak sehat. Sebab, surat kaleng bukan hanya tidak etis, tapi juga destruktif, ia menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi, mengaburkan batas antara fakta dan fitnah, dan melemahkan moral keberanian dalam masyarakat.
*Etika Publik yang Kian Renta*
Fenomena surat kaleng sejatinya memperlihatkan dua hal sekaligus yakni krisis kepercayaan dan krisis keberanian. Di satu sisi, masyarakat tampak tidak percaya pada jalur pelaporan resmi yang disediakan pemerintah, entah karena dianggap tidak efektif, atau karena takut pada risiko sosial dan politik. Di sisi lain, keberanian moral untuk tampil terbuka dengan identitas sendiri juga kian pudar.
Keduanya saling menguatkan, membentuk lingkaran setan ketidakpercayaan. Dan di dalam lingkaran itu, surat kaleng menemukan momentumnya, menjadi alat untuk menyalurkan keluhan, sekaligus menyembunyikan motif.
Padahal, sistem pengaduan publik kini sudah jauh lebih terbuka. Dari Ombudsman, Inspektorat, hingga kanal digital pengaduan pemerintah, aemua memungkinkan warga untuk melapor dengan aman. Namun, ketika pilihan jalur resmi tidak digunakan, kita patut bertanyay apakah ini karena takut, atau karena memang ingin memainkan persepsi?
Kecurigaan itu menjadi relevan ketika surat kaleng malah dikirim ke lembaga pers, bukan lembaga pemerintah. Dalam etika publik yang sehat, pengaduan seharusnya diarahkan kepada pihak berwenang, bukan kepada pihak yang berkaitan dengan percaturan opini. Ketika surat seperti itu tiba-tiba masuk ke meja wartawan, ada potensi bahwa yang sedang diincar bukan penyelesaian masalah, melainkan penciptaan wacana.
Dan di sinilah pentingnya kebijaksanaan media. Pers yang sehat bukanlah corong bagi isu tak jelas asal-usulnya. Ia mesti menjadi benteng verifikasi, bukan papan tempel bagi rumor. Dalam konteks Aceh Selatan, sikap PWI yang memilih berhati-hati dalam menyikapi surat itu seharusnya menjadi langkah tepat. Media tidak boleh menjadi arena bagi permainan politik bayangan yang menjadikan “surat tanpa nama” sebagai alat provokasi.
Kita hidup di era ketika informasi bisa menjadi peluru. Karena itu, tanggung jawab moral tak lagi bisa ditawar. Kritik memang penting, tapi ia kehilangan makna ketika dibungkus dalam ketakutan. Kebenaran, sebagaimana diajarkan dalam falsafah Aceh “hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”, tidak bisa dipisahkan dari etika dan keberanian. Sebuah kebenaran yang disampaikan dengan cara pengecut adalah kontradiksi moral.
Dalam konteks sosial Aceh, di mana adat dan kehormatan sering menjadi dasar interaksi publik, surat kaleng justru merupakan bentuk degradasi nilai. Ia menandai masyarakat yang berani bersuara tapi takut bertanggung jawab; yang ingin memperbaiki keadaan tapi tak mau menanggung risiko. Padahal, perubahan sosial sejati hanya mungkin terjadi jika keberanian moral berjalan seiring dengan kejujuran intelektual.
Tentunya menyerukan agar semua elemen masyarakat agar tidak terjebak dalam budaya “bisik-bisik” dan anonimisme semu. Jika ada pelanggaran, sampaikanlah melalui mekanisme resmi. Jika ingin mengkritik, tampilkan wajah dan nama. Karena tanpa itu, setiap kritik hanya menjadi gema di lorong gelap yang nyaring, tapi tanpa arah.
Dan kepada pemerintah daerah, pesan yang sama juga berlaku. Kepercayaan publik hanya bisa tumbuh jika saluran aspirasi dibuka dan dijaga integritasnya. Ketika masyarakat tahu bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti secara adil dan transparan, mereka tidak lagi perlu bersembunyi di balik surat kaleng.
Pada akhirnya, surat kaleng bukan sekadar fenomena administratif. Ia adalah simbol dari mentalitas yang belum tuntas berupa keberanian yang setengah matang, kecurigaan yang belum sembuh, dan politik yang masih bermain di balik bayangan. Jika kita ingin membangun daerah yang sehat dan beradab, maka yang harus diberantas bukan hanya korupsi, tapi juga ketakutan untuk mengaku siapa kita ketika berbicara tentang kebenaran.
Karena bangsa yang besar bukan bangsa tanpa kritik, melainkan bangsa yang berani mengkritik dengan kepala tegak, nama jelas, dan niat tulus. Yang menulis surat dengan pena, bukan dengan kaleng-kaleng.








