02 Agustus 2025
Opini

Saya Wakafkan Jiwa, Raga dan Harta Saya untuk Pidie Jaya, Janji Bupati yang Masih Tertidur di Kursi Kekuasaan

Foto : Dok. Google Images/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Di bawah langit mendung Pidie Jaya, seorang ibu memeluk anaknya yang sakit parah di beranda rumah panggung yang nyaris lapuk. “Puskesmas jauh, jalan becek, mobil tak ada,” katanya lirih. Di seberangnya, lelaki tua duduk di atas bangku bambu, menatap hamparan sawah kering dan retak. “Janji pemimpin dulu katanya semua akan dibangun. Tapi sampai sekarang, kami hanya menunggu.” Mereka tidak membaca berita, tidak menonton televisi, tapi mereka ingat satu kalimat yang bergaung di langit kampung: “Saya wakafkan jiwa, raga dan harta saya untuk Pidie Jaya.”

Kalimat itu keluar dari mulut Sibral Malasyi, kala tampil penuh semangat dalam debat kandidat yang digelar KIP Pidie Jaya di Gedung DPRK setempat. Panggung gemuruh oleh tepuk tangan, langit malam diwarnai harapan. Saat itu, rakyat percaya bahwa Pidie Jaya akan berubah. Bahwa pemimpin baru akan hadir bukan hanya dalam acara resmi, tapi juga di tengah jerit sunyi petani, nelayan, guru honorer, dan para ibu yang tak pernah mengeluh meski hidup dalam kekurangan. Tapi kini, enam bulan setelah pelantikan tepatnya pada Selasa 18 Februari 2025 silam, janji itu terdengar seperti gema yang pelan-pelan memudar.

Yang hadir justru sosok bupati yang lebih sering terlihat di acara seremoni, pengguntingan pita, apel penghormatan, dan rapat koordinasi. Tak salah memang, itu bagian dari tugas protokoler. Tapi apakah hanya itu wajah pemerintahan yang dijanjikan? Di saat rakyat menanti program nyata, kehadiran pemerintah justru terasa formal dan jauh. Kamera menangkap senyuman di balik dasi dan lencana, tapi tak menangkap jejak langkah kaki bupati di tanah berlumpur kampung.

Rakyat tak butuh terlalu banyak seremoni. Mereka butuh irigasi di sawah, jalan yang bisa dilewati ambulans, bantuan pupuk subsidi, gas elpiji 3kg, bantuan pemerintah tak hanya dinikmati oleh mereka yang “dekat” dengan kekuasaan. Mereka butuh pemerintah yang tak hanya hadir saat pemotongan pita, tapi saat dapur mereka tak lagi mengepul. Di mana wakaf jiwa dan raga itu kini? Apakah benar-benar sudah menyatu dalam denyut rakyat? Ataukah hanya ditinggalkan di panggung debat yang kini tinggal kenangan?

Yang lebih menyakitkan, sebagian program yang disusun justru terkesan elitis, hanya menyentuh kelompok tertentu. Seakan Pidie Jaya hanya milik satu lingkaran, satu basis dukungan, satu warna politik. Padahal janji wakaf itu bukan untuk sekelompok orang, tapi untuk seluruh jiwa di Pidie Jaya. Untuk mereka yang tak bisa bersuara. Untuk mereka yang tak sempat menyampaikan proposal karena tak punya akses masuk ke gedung kantor bupati yang kini seolah makin tinggi dan tertutup.

Ketegangan pun mulai terasa di tubuh pemerintahan. DPRK yang seharusnya menjadi mitra malah merasa dipinggirkan. Usulan yang semula katanya sudah disetujui dibelakang layar tiba-tiba raib di meja anggaran. Pimpinan DPRK berang, bupati terkesan mengabaikan semangat kolektif. Ini bukan soal ego politik, tapi soal tanggung jawab terhadap amanah rakyat. Ketika eksekutif dan legislatif saling membelakangi, maka yang paling dirugikan adalah rakyat Pidie Jaya.

Belum lagi soal birokrasi. Pegawai dan pejabat pemerintah terlihat ragu, bingung menentukan arah karena tidak ada kebijakan prioritas yang jelas. Pidie Jaya seolah berjalan tanpa kompas, tanpa peta pembangunan. Tidak ada reformasi pelayanan, tidak ada inovasi, tidak ada percepatan program. Padahal rakyat telah bersabar, bukan dalam diam, tapi dalam harap yang kian menipis. Jika janji perubahan hanya menjadi lembaran usang, maka luka ketidakpercayaan akan sulit disembuhkan di pilkada berikutnya.

Rakyat Pidie Jaya tidak meminta lebih. Mereka tidak menuntut bupati untuk menjual hartanya atau tidur di kampung-kampung. Mereka hanya ingin melihat pemimpin mereka mengalokasikan anggaran pemerintah secara proposional dan merata, bekerja untuk rakyat, bukan hanya di ruang VIP dan podium dekoratif, tapi dari keputusan nyata yang menyentuh hidup mereka. Wakaf bukan hanya kata puitis dan retorika kampanye, ia adalah sumpah. Dan sumpah diucapkan bukan hanya pada saat debat dan kampanye, tapi untuk ditepati.

Kini, rakyat Pidie Jaya menanti dengan mata terbuka. Bukan dalam marah, tapi dalam kecewa yang tenang. Pidie Jaya tidak butuh pemimpin yang eksklusif, yang jauh dari rakyatnya, diam, dan nyaman. Mereka butuh pemimpin yang bangun, berjalan, dan menyelami realitas rakyat di perkampungan. Sebab, kekuasaan bukan hak istimewa, ia adalah amanah yang sewaktu-waktu bisa dicabut oleh sejarah. Dan sejarah tidak pernah menulis dengan tinta emas pemimpin yang tertidur di tengah derita rakyatnya.

Bangunlah, Sebelum rakyat lebih dulu bangun dan memilih tak lagi percaya. Sebelum sejarah menuliskan kalimat lain di belakang nama sang  Bupati: “Ia pernah berjanji... tapi tak pernah menepati.”

Oleh : Teuku Saifullah
Warga Pidie Jaya, Aceh