19 Desember 2025
Daerah

Pemulihan Tersendat, Bupati Pidie Jaya Didesak Buka Pintu Lebar untuk Bantuan NGO Luar Negeri

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Pemulihan pascabencana di Kabupaten Pidie Jaya seolah berjalan tertatih, bahkan cenderung tersandera oleh pola kerja birokrasi yang lamban dan miskin inisiatif. Di tengah kerusakan infrastruktur yang belum tertangani, krisis air bersih, serta fasilitas publik yang lumpuh, Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya justru dinilai belum maksimal membuka pintu bantuan dari luar.

Mantan aktifis Mahasiswa Pidie Jaya, Refan Nurreza, mengatakan, di level provinsi, Pemerintah Aceh telah lebih dulu mengambil langkah progresif dengan menjalin komunikasi langsung ke lembaga internasional, termasuk menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk terlibat dalam pemulihan pascabencana. Ironisnya, langkah serupa belum terlihat kuat di tingkat kabupaten, seolah menunggu keadaan memburuk baru bergerak.

Kata Refan, Kondisi di lapangan berbicara lantang. Akses jalan perdesaan di sejumlah wilayah Kecamatan Meureudu dan Meurah Dua masih tertimbun lumpur, rumah warga rusak berat, tempat ibadah dan sekolah belum pulih, sementara alat berat dan armada dump truck sangat terbatas. Lebih parah lagi, PDAM Tirta Krueng Meureudu di Desa Beurawang lumpuh akibat tertimbun lumpur tebal, memutus akses air bersih bagi masyarakat. Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan krisis layanan dasar.

Di sinilah kritik tajam layak diarahkan: mengapa Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya tidak segera melakukan “jemput bola” dengan menggandeng LSM dan NGO internasional yang memiliki kapasitas, sumber daya, dan pengalaman dalam penanganan bencana? Fakta bahwa banyak NGO luar negeri siap membantu namun menunggu undangan resmi dari pemerintah justru memperlihatkan lemahnya komunikasi dan kepemimpinan kebijakan di tingkat daerah.

Lebih mengkhawatirkan, pengambilan keputusan terkesan terpusat dan birokratis. Hampir setiap persoalan di lapangan disebut harus “menunggu arahan bupati”. Jika demikian, lalu di mana fungsi strategis para kepala dinas dan pejabat teknis yang seharusnya menjadi motor penggerak penanganan bencana? Ketika inisiatif mati di meja rapat dan semua keputusan tersendat di satu pintu, yang menjadi korban adalah masyarakat.

Bencana alam memang tak bisa dihindari, tetapi lambannya respons dan minimnya terobosan adalah pilihan kebijakan. Jika Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya terus bertahan dengan pola kerja lama, pasif, menunggu, dan defensif, maka pemulihan akan berjalan lamban dan penderitaan warga akan berkepanjangan.

Sudah saatnya Pemkab Pidie Jaya keluar dari zona nyaman birokrasi, membuka jaringan seluas-luasnya, dan memanfaatkan solidaritas global. Dalam situasi darurat, yang dibutuhkan bukan sekadar rapat dan pernyataan, tetapi keberanian mengambil langkah cepat. Karena bagi warga terdampak, waktu bukan soal administrasi, melainkan soal bertahan hidup, pungkas Refan.  (**)