BANJIR PIDIE JAYA
22 Hari Tanpa Sekolah, Anak-Anak Korban Banjir Pidie Jaya Butuh Sekolah Tenda
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Ratusan siswa sekolah dasar dari Gampong Dayah Usen, Dayah Kruet, Mancang, Blang Cut, dan Gampong Blang, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, terpaksa kehilangan hak paling dasar mereka: bersekolah. Sejak banjir besar menerjang wilayah tersebut pada 26 Nesember 2025 silam, anak-anak yang selama ini belajar di MIN Kuta Baroh tidak lagi mengenyam pendidikan formal. Ruang kelas berubah menjadi puing, buku hanyut bersama lumpur, dan semangat belajar terpaksa menunggu tanpa kepastian.
Dampak paling parah dirasakan oleh siswa sekolah dasar yang sekolah dan rumahnya terendam banjir. Di Gampong Dayah Usen, misalnya, puluhan siswa telah 22 hari tidak bersekolah. Hari-hari mereka diisi dengan pengungsian dan sisa trauma, sementara kalender pendidikan terus berjalan seolah bencana hanyalah catatan kecil yang bisa dilupakan begitu saja. Di tengah wacana pemulihan, nasib pendidikan anak-anak ini seakan tercecer.
Salah seorang wali murid di Gampong Dayah Usen, Dahlan, mengungkapkan kegundahannya. Ia mengatakan anak-anaknya sudah lama tidak sekolah sejak banjir besar melanda Pidie Jaya. “Mereka bukan hanya kehilangan sekolah, tapi juga pakaian, buku, dan alat tulis. Yang tersisa hanya keinginan untuk belajar,” ujarnya. Namun keinginan itu kini terhalang oleh lambannya respons nyata dari pihak-pihak yang seharusnya hadir.
Para orang tua dan masyarakat setempat berharap adanya perhatian serius dari lembaga donor, relawan kemanusiaan, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat untuk segera mendirikan sekolah tenda di kawasan terdampak seperti Gampong Dayah Usen, Mancang, dan Dayah Kruet. Menurut Dahlan, kebutuhan ini sangat mendesak agar proses belajar mengajar bisa kembali berjalan, meski dalam kondisi darurat. “Anak-anak tidak bisa terus menunggu,” katanya tegas.
Hal senada disampaikan Keuchik Gampong Dayah Usen, Zulbahri. Ia menilai pendidikan anak-anak pascabanjir belum menjadi prioritas utama penanganan bencana. “Sekolah tenda sangat dibutuhkan untuk anak-anak usia sekolah. Kalau terlalu lama dibiarkan, mereka bisa putus sekolah,” ujarnya. Pernyataan ini sekaligus menjadi sindiran keras terhadap sistem penanganan bencana yang kerap fokus pada logistik, tetapi abai pada masa depan generasi muda.
Kini, solusi konkret menjadi kata kunci. Sekolah tenda bukan sekadar bangunan darurat, melainkan simbol keberpihakan negara terhadap hak pendidikan anak-anak korban bencana. Jika negara dan para pemangku kebijakan terus menunda, maka banjir bukan hanya merusak rumah dan sekolah, tetapi juga menggerus harapan dan masa depan ratusan anak di Pidie Jaya. Pertanyaannya, sampai kapan anak-anak ini harus belajar tentang ketabahan, sebelum kembali belajar membaca dan menulis? (**)






