21 November 2024
Opini

Mahasiswa dan Belenggu Pendidikan Materialisme

Oleh: Rohabdo M. Pazlan Sidauruk.
(Wakil Ketua HMP Kesejahteraan Sosial UIN Ar-Raniry)

OPINI - Mahasiswa merupakan salah satu elemen fundamental dalam  upaya pembangunan peradaban. Sebagai golongan yang berhasil   merambah dunia pendidikan tinggi, maka mahasiswa memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam hal pemulihan keadaan bangsa yang saat ini tengah tertimpa krisis multidimensional. Terlebih di tengah krisis Covid-19 yang mengharuskan sistem pada setiap lini  diupayakan transisi, maka mahasiswa dengan sematan Agen Of Change nya harus mampu ikut serta memberikan solusi serta meng-influence masyarakat luas agar tetap tegar dan mampu bersikap dinamis.

Penulis ingin menyampaikan bahwa mahasiswa harus memiliki kesiapan untuk menjadi kaum penyelamat bangsa. Sengaja terminologi yang dipakai adalah “penyelamat” dikarenakan kondisi bangsa hari ini sedang tertatih sakit akibat Covid-19. Walaupun sebenarnya kerusakan yang diakibatkan oleh Covid-19 tidak begitu besar jika dibandingkan dengan krisis moralitas. Untuk berada di posisi penyelamat yang dimaksud tidak bisa hanya mengandalkan utopia belaka, dengan nongkrong sana sini, diskusi ini itu serta berbicara tanpa referensi. 

Mahasiswa ideal yang  akan menjadi cikal bakal kaum andalan bangsa, hemat penulis ialah mereka yang siap untuk menjaga gairah serta semangatnya dalam menjalani pendidikan. Mahasiswa yang mengerti akan hakikat ilmu dan mampu menangkal belenggu pendidikan materialisme. Pendidikan materialisme adalah senjata penghancur generasi, karena ia akan membentuk persepsi buruk bahwa seluruh kebaikan hanya diidentikkan dengan materi, dan kemudian menegasikan urgensi nilai, moral dan etika. Sangat disayangkan apabila pendidikan yang merupakan sentral peradaban kemudian harus dimatikan peran sentrisnya dengan materialisme yang kotor. Mahasiswa adalah kemungkinan terbesar sebagai output dari pendidikan materialisme tersebut sehingga mengharuskan mahasiswa untuk berani membentengi diri. 
 
Kita patut bersyukur bahwa pendidikan Islam telah diimplementasikan pada dunia pendidikan formal sebagai hasil dari usaha kaum intelektual Islam Indonesia untuk menangkal tumbuh dan kembangnya pendidikan materialisme. Namun, sikap pragmatis dan suka akan hal-hal instan asalkan memuaskan birahi adalah ciri real dari kondisi mahasiswa saat ini. Dan kondisi tersebutlah yang kelak menjadikan mahasiswa candu akan utopia , senang memberi kritik dan komentar terhadap setiap problematika yang ada, namun ketika dimintai solusi malah menunjukkan muram durja dan diam seribu kata dan hal itu bukanlah sesuatu yang diajarkan dalam konsep agama Islam. Jika kita berkaca kepada kondisi sosial saat ini, sangat dibutuhkan sekali figur mahasiswa yang dapat menjadi sosok pendamping masyarakat dalam upaya sterilisasi pemahaman publik dari hoax, propaganda-propaganda, serta doktrin-doktrin kotor yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Untuk berada di posisi itu sangat dibutuhkan mentalitas yang siap serta pengetahuan yang luas agar kiranya kedamaian sosial benar-benar terwujud kendati membutuhkan prosesi yang lebih panjang lagi, tapi setidaknya dengan lahirnya mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kesiapan secara mentalitas dan pengetahuan, maka salah satu tonggak peradaban telah dibangun.
 
Mahasiswa sangat identik sekali dengan pendidikan, dan suatu keniscayaan bahwa mahasiswa yang sukses adalah mahasiswa yang berpendidikan. Tentu berpendidikan yang dimaksud ialah yang memiliki kesesuaian dengan konsep pendidikan Syed Nauqib Al-Attas yang menurut penulis sebagai konsep pendidikan yang paling ideal,  yakni pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang baik. Seorang mahasiswa harus memiliki kepribadian yang baik, baik secara spiritual dan juga baik secara sosial (Hablun Minallahi Wa Hablun Minannasi). Namun pendidikan materialisme jugalah yang berhasil mengubah persepsi, bahwa pendidikan ideal  ialah yang  mensyaratkan materi sebagai unsur utama.
 
Pendidikan materialisme menjadikan materi sebagai satu-satunya tolak ukur kesusksesan pendidikan seorang mahasiswa. Namun nilai, etika dan moral malah dinegasikan urgensi nya. Jika kita berkaca kepada kondisi bangsa saat ini, orang-orang pintar sangat banyak dan mudah sekali didapati, namun yang menjadi masalah serius selanjutnya ialah tidak sedikit diantara orang-orang pintar itu yang menggunakan kepintarannya sebagai tameng dan siasat untuk memenuhi maksud-maksud busuk. Sehingga penulis memandang bahwa kondisi bangsa saat ini sangat relevan sekali dengan salah satu quote populer dari bapak proklamator, Bung Hatta “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki”. 
 
Jika kita coba kontekstualisasikan perkataan sang proklamator tersebut, maka hakikatnya bangsa ini memiliki tugas besar, yakni menghapuskan pendidikan materialisme yang termanifestasi  sebagai krisis moralitas, kita ketahui bahwa orientasi dari krisis moralitas adalah hal-hal yang dapat menghambat pembangunan peradaban seperti ketidakjujuran, ketidakpastian, KKN, dan lain semisal.

Pada akhirnya mahasiswa dituntut untuk lebih konsentrasi lagi terhadap kondisi dan situasi pendidikan yang sedang dijalani. Karena pendidikan adalah sentral peradaban yang akan menjadi penentu arah dan gerak bangsa.