Fenomena Purbaya dan Krisis Kejujuran Negara
Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
OPINI - Indonesia hari ini seperti kapal besar yang kehilangan kompas. Negara berjalan tanpa arah, dikelilingi gelombang kepentingan yang saling menabrak. Dari penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, hingga kebijakan ekonomi yang semakin menjauh dari rasa keadilan sosial, semuanya memperlihatkan wajah negara yang salah urus. Di tengah situasi carut-marut ini, rakyat kecil menjadi korban pertama, sementara oligarki dan pejabat tetap nyaman di singgasananya.
Munculnya sosok Purbaya di tengah kekacauan itu menghadirkan harapan sekaligus kegelisahan. Sebagai Menteri Keuangan yang dikenal ceplas-ceplos dan blak-blakan, ia menabrak kultur birokrasi yang terbiasa menyembunyikan busuk di balik formalitas. Ucapannya yang lugas sering dianggap kasar, tapi justru di sanalah nilai kejujurannya tampak, ia berbicara apa adanya tentang kebocoran, inefisiensi, dan perilaku menyimpang dalam pengelolaan uang negara, isu yang selama ini disapu di bawah karpet.
Sayangnya, kejujuran seperti itu jarang disambut tepuk tangan di republik ini. Purbaya justru menghadapi resistensi dari sesama pejabat, dituding pencitraan, tidak etis, bahkan ikut campur urusan kementerian lain. Fenomena ini memperlihatkan penyakit lama bangsa o alergi terhadap kebenaran. Bangsa ini, meminjam istilah sosiolog Robert Bellah, tengah kehilangan moral publik. Ketika pejabat berani berkata jujur, ia dianggap aneh; ketika ia menolak ikut arus, ia dijauhi.
Data Transparency International 2024 mencatat indeks persepsi korupsi Indonesia mandek di angka 34, sama seperti lima tahun sebelumnya. Laporan BPK Semester I 2025 menemukan potensi kerugian negara Rp72 triliun akibat penyimpangan keuangan di pusat dan daerah. Angka itu bukan sekadar statistik; ia menggambarkan betapa sistem fiskal negara masih menjadi ladang bancakan.
Dalam konteks ini, Purbaya bukan hanya menteri; ia simbol perlawanan terhadap banalitas birokrasi yang kehilangan malu. Tapi keberaniannya justru membuatnya terasing, seolah kejujuran kini dianggap cacat moral baru di negeri ini.
Mungkin bangsa ini benar-benar sedang rabun kebenaran: sulit melihat yang benar, tapi mudah percaya pada kebohongan. Ketika semua orang nyaman hidup dalam kepalsuan, berbicara jujur tampak seperti kejahatan.