Refleksi Delapan Tahun Gempa Pidie Jaya: Menghidupkan Kembali Ingatan untuk Perubahan
OPINI - Delapan tahun telah berlalu sejak gempa dahsyat mengguncang Pidie Jaya pada 7 Desember 2016. Tragedi itu meninggalkan luka mendalam, menghancurkan ribuan rumah, masjid, dan fasilitas umum, serta merenggut ratusan jiwa. Namun, dalam peringatan tahun ini, terasa ada kehampaan. Tidak ada zikir, doa bersama, atau momen reflektif yang digagas pemerintah daerah untuk mengenang peristiwa tersebut.
Peringatan gempa semestinya bukan sekadar seremonial, tetapi kesempatan untuk merenungkan sejauh mana kita belajar dan berbenah. Gempa Pidie Jaya adalah pengingat pahit tentang rentannya kehidupan dan pentingnya membangun daerah yang lebih tangguh. Di tengah pergeseran prioritas politik dan sosial, melupakan tragedi seperti ini sama artinya dengan melupakan pelajaran mahal yang pernah ditorehkan oleh alam.
Ketiadaan momen reflektif di bawah kepemimpinan Pj Bupati Pidie Jaya tahun ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menghidupkan ingatan kolektif masyarakat terhadap bencana ini? Refleksi bencana bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga langkah strategis untuk memastikan kesiapan masyarakat dalam menghadapi potensi bencana serupa di masa depan.
Warga Pidie Jaya tentu masih mengingat jelas masa-masa sulit itu. Mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga, bahkan rasa aman. Akan tetapi, dengan berlalunya waktu, kesedihan itu bisa saja tergeser oleh hiruk pikuk kebutuhan hidup. Di sinilah peran pemerintah menjadi vital, sebagai penjaga ingatan dan penggerak langkah perbaikan.
Dalam konteks ini, harapan besar tertuju kepada pemimpin baru Pidie Jaya periode 2024-2030. Mereka tidak hanya diharapkan mampu membangun infrastruktur, tetapi juga merekatkan jiwa kolektif masyarakat. Peringatan tahunan semacam doa bersama dan zikir bukan hanya ritual agama, melainkan untuk menyatukan hati dan pikiran masyarakat, memperkuat solidaritas, dan membangun optimisme bersama.
Selain itu, refleksi gempa seharusnya menjadi agenda strategis yang dirancang lebih visioner. Tidak hanya mengenang, tetapi juga memobilisasi masyarakat untuk memahami mitigasi bencana, memperbaiki tata ruang yang lebih aman, dan membangun ketangguhan psikologis. Dengan cara ini, peringatan tidak hanya menjadi rutinitas, tetapi juga pendorong perubahan.
Para pemimpin baru nantinya harus mampu merumuskan kebijakan yang inklusif, berakar pada pengalaman bencana masa lalu. Mereka harus memastikan bahwa pembangunan infrastruktur tahan gempa tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar terimplementasi di setiap sudut Pidie Jaya. Tidak ada lagi tempat bagi kelalaian atau kebijakan yang setengah hati dalam menghadapi ancaman bencana.
Masyarakat Pidie Jaya tentu juga memiliki tanggung jawab yang sama besar. Solidaritas yang pernah tumbuh saat gempa terjadi harus terus dipupuk dan menjadi energi kolektif untuk mendorong perubahan. Warga tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pelaku aktif dalam setiap langkah mitigasi dan pembangunan.
Gempa Pidie Jaya adalah babak kelam, tetapi tidak harus menjadi cerita yang berakhir tanpa pelajaran. Jika ingatan itu terus dirawat, jika refleksi itu terus hidup, maka Pidie Jaya bukan hanya akan bangkit, tetapi juga tumbuh menjadi daerah yang lebih tangguh dan bijaksana. Di sinilah, pemimpin baru memiliki peluang besar untuk meninggalkan warisan yang bermakna: warisan yang mengubah luka menjadi kekuatan, dan kehancuran menjadi harapan.
Mari kita jadikan peringatan 8 tahun ini sebagai titik balik menuju perubahan yang lebih baik. Jangan sampai tragedi ini hanya menjadi catatan sejarah, melainkan harus menjadi inspirasi abadi bagi generasi mendatang.
Oleh : Teuku Saifullah, SE
Warga Pidie Jaya - Aceh