15 Oktober 2025
Opini

Ketika Kritik Dianggap Ancaman, Bupati Pidie Jaya Diduga Syur Kekuasaan

Foto : Miswar | LIPUTAN GAMPONG NEWS

Oleh : Miswar
Masyarakat Pidie Jaya

OPINI - Di tengah sorotan publik terhadap kinerja pemerintah daerah, Bupati Pidie Jaya kini disebut tengah terjebak dalam pusaran kekuasaan. Dari luar tampak stabil, namun di dalam pemerintahan, aroma ketegangan birokrasi kian terasa. 

Sumber internal menyebut, banyak kebijakan strategis kini ditentukan secara sepihak oleh lingkar kecil di sekitar Bupati. Para pejabat dan staf ASN mulai kehilangan ruang untuk berpendapat, apalagi mengkritik. “Sekarang bukan soal benar atau salah, tapi siapa yang berani berbeda, pasti disingkirkan,” ungkap salah satu ASN di Pidie Jaya  yang meminta identitasnya dirahasiakan. 

Fenomena ini melahirkan istilah baru di kalangan pegawai: “Syur kekuasaan,” istilah sinis yang menggambarkan suasana di mana kekuasaan begitu dominan hingga menenggelamkan akal sehat dan moral birokrasi. Mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan seolah kebal kritik, sementara yang mencoba netral justru dianggap ancaman. 

Di tingkat bawah, dampaknya mulai terasa. Banyak program tertunda karena pejabat pelaksana lebih sibuk membaca arah angin politik daripada fokus pada pelayanan publik. Rapat-rapat koordinasi berubah menjadi ajang mencari aman, bukan mencari solusi. Pemerintahan daerah seperti kehilangan denyut profesionalisme. 

Sejumlah tokoh masyarakat Pidie Jaya yang pernah penulis temui beberapa waktu lalu bahkan menilai, gaya kepemimpinan Bupati Pidie Jaya terlalu sentralistik, jika terus begini berpotensi mematikan partisipasi publik. “Pidie Jaya bukan milik satu kelompok, tapi milik semua rakyat. Kalau kekuasaan sudah menutup ruang kritik, maka yang muncul hanyalah ketakutan,” ujar salah seorang tokoh pemuda di  Pidie Jaya. 

Di sisi lain, beberapa pihak di lingkar kekuasaan menepis tudingan tersebut. Mereka menilai langkah Bupati adalah bentuk ketegasan dalam menata pemerintahan yang selama ini dinilai lamban dan tidak disiplin. “Bupati hanya ingin ASN bekerja fokus, bukan berpolitik di kantor,” ujar salah seorang ASN yang dekat dengan kekuasaan. 

Namun, kita sebagai warga Pidie Jaya yang menginginkan perubahan sesuai cita-cita awal pasangan SABAR hanya mengingatkan, bahwa ketegasan dan otoritarianisme adalah dua hal yang berbeda. Ketegasan lahir dari prinsip dan sistem, sedangkan otoritarianisme lahir dari rasa takut kehilangan kendali. Ketika kebijakan tidak lagi berbasis data, melainkan perasaan dan kedekatan, maka yang lahir bukan tata kelola, melainkan tata kuasa. 

Pada sebuah kesempatan, seorang teman penulis pernah mendengar Bupati Pidie Jaya berucap begini, “Matahari hanya keluar dari satu arah,” sebuah pernyataan yang kini banyak ditafsirkan sebagai simbol dari cara pandangnya terhadap kekuasaan. Ucapan itu, meski tampak sederhana, menyiratkan keyakinan bahwa arah pemerintahan hanya boleh datang dari satu sumber, yakni dirinya. Dalam konteks birokrasi, makna ini berbahaya, sebab menggambarkan kekuasaan yang bersifat mutlak layaknya pimpinan perusahaan, bukan sistem pemerintahan yang seharusnya berjalan dengan musyawarah, partisipasi, dan pembagian peran. Kalimat itu menjadi cermin bagaimana kekuasaan mulai mengabaikan suara lain, seolah sinar matahari hanya pantas datang dari satu arah, dan semua yang berada di bawahnya harus tunduk tanpa bertanya. 

Bahkan, pada apel pagi Senin kemarin di hadapan ribuan ASN, Bupati kembali melontarkan pernyataan yang memicu sorotan publik. “Sebenarnya saya bukan Bupati es kosong, bukan. Nanti saya buat seperti es berisi, nggak enak juga,” ujarnya menanggapi opini penulis sebelumnya berjudul “Rakyat Pidie Jaya Gerah, Bupati Lagei Es Kosong, Wakil Panas Membara.” 

Tak berhenti di situ, ia juga menambahkan dengan nada kecewa, “Ketika saya dikritik sebagai Bupati es kosong, tidak ada seorang pun ASN yang membantah atau membela saya.” Kalimat itu justru memperlihatkan adanya jarak emosional antara pimpinan dan bawahannya, jarak yang terbentuk bukan karena kurangnya loyalitas, melainkan karena suasana pemerintahan yang tak lagi memberi ruang aman bagi para ASN untuk bersuara jujur. 

Padahal opini penulis sebelumnya  hanyalah bentuk kritik membangun, pengingat atas janji-janji kampanye yang sempat diucapkan di hadapan rakyat, sebuah kritik sehat yang dimaksudkan untuk memperbaiki arah, bukan untuk menjatuhkan. Kritik seharusnya menjadi vitamin bagi pemerintahan, bukan dianggap racun yang mematikan reputasi. 

Allah menciptakan matahari untuk menerangi bumi dan seisinya, bukan untuk membakar atau membutakan pandangan makhluk di bawahnya. Begitu pula kekuasaan, seharusnya menjadi penerang bagi rakyat, memberi arah dan kehangatan, bukan menjadi sumber ketakutan atau alat menundukkan yang lemah agar tidak berani lagi bersuara kritis. Jika kekuasaan hanya berpusat pada satu kehendak dan menolak cahaya dari pikiran orang lain, maka ia bukan lagi matahari yang menerangi, melainkan bara yang perlahan menghanguskan kepercayaan. 

Kini publik menunggu, apakah Bupati Pidie Jaya akan kembali menata arah kepemimpinannya ke jalur kolaboratif, atau justru semakin tenggelam dalam euforia “syur kekuasaan” yang pelan tapi pasti menggerogoti kepercayaan rakyat. Sebab sejarah selalu mencatat: kekuasaan yang tak diimbangi kebijaksanaan, pada akhirnya akan runtuh bukan karena lawan, tapi oleh bayangan kekuasaannya sendiri. 

Untuk keluar dari pusaran “syur kekuasaan” ini, Bupati Pidie Jaya perlu kembali menata arah kepemimpinan dengan membuka ruang dialog yang jujur dan setara. Kritik jangan lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan cermin untuk memperbaiki diri. Pemerintahan yang kuat justru lahir dari keberanian mendengar yang berbeda, memberi ruang partisipasi publik, dan menghidupkan kembali semangat kolektif di tubuh birokrasi. Transparansi, evaluasi terbuka, dan keberanian mengakui kekurangan adalah kunci agar cahaya kekuasaan benar-benar menerangi rakyat, bukan membutakannya.