19 Oktober 2025
Daerah

Bang Gade Salam dan Jejak Lahirnya Cot Trieng, Pusat Pemerintahan Pidie Jaya

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDDi tengah hamparan sawah warga Manyang Cut dan Rungkom, tempat para petani dulu menanam padi sambil bernaung di bawah teduh pepohonan, kini berdiri deretan gedung megah yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Pidie Jaya.

Kawasan yang kini disebut Cot Trieng itu menyimpan kisah panjang yang tak sekadar tentang pembangunan fisik, melainkan tentang idealisme, pengorbanan, dan cinta seorang pemimpin kepada tanah kelahirannya.

Sosok itu adalah Bang Gade Salam, bupati pertama Pidie Jaya. Ia bukan hanya seorang pejabat yang menandatangani kebijakan, melainkan pemimpin yang menanam mimpi di tanah basah, bersama rakyat yang mencangkul dan menanam padi.

Dalam benaknya, Pidie Jaya harus memiliki pusat pemerintahan, tempat dimana untuk memberikan pelayan terbaik untuk rakyatnya. “Pidie Jaya harus punya kantor sendiri,” kalimat yang kemudian bergema di hati para tokoh masyarakat dan rakyat Pidie Jaya.

Mimpi itu tidak lahir di ruang berpendingin udara, melainkan dalam musyawarah penuh keakraban antara pemimpin dan rakyatnya. Tak ada tekanan, tak ada iming-iming besar. Hanya ada keikhlasan.

Dari dialog itulah rakyat Manyang Cut dan Rungkom rela menyerahkan lahan mereka seharga Rp70.000 per meter, harga yang kecil, tapi bermakna besar. Mereka tahu, itu bukan jual beli, melainkan wakaf kecil untuk masa depan anak cucu mereka.

Maka tanah sawah pun berubah rupa. Dari hamparan hijau menjadi hamparan pondasi. Dari lumpur sawah menjadi tembok kokoh. Dari suara burung pipit menjadi dentuman alat berat.

Di atas tanah itulah kini berdiri kantor Bupati, DPRK, PU, Bappeda, dan berbagai instansi pemerintahan vertikal yang menjadi jantung birokrasi Pidie Jaya. Sebuah perubahan besar yang bermula dari hati, bukan dari orientasi proyek dan kalkulasi untung rugi.

Namun, di antara fondasi-fondasi beton itu tersisa satu kisah kecil yang hampir luput dari ingatan: sebidang tanah kebun milik Bang Mak Rufin, warga Manyang Cut. Kebun itu dulu rimbun dengan rumpun bambu dan pohon kelapa.

Dari sanalah nama Cot Trieng berasal. Dalam bahasa Aceh, cot berarti bukit kecil, dan trieng berarti bambu. Tempat itu sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar, teduh dan sejuk, sering menjadi tempat para petani beristirahat dan makan siang ketika musim panen tiba.

Ketika pembangunan dimulai, hampir seluruh rumpun bambu ditebang untuk membuka lahan. Namun Bang Gade Salam berpesan agar satu rumpun dibiarkan hidup. “Biar anak cucu kita tahu, di sinilah semua dimulai,” katanya.

Kini, bambu itu masih berdiri di antara kantor DPRK dan Bappeda, tepat di belakang kantor PU, rumpun bambu hijau yang menjadi saksi bisu perjalanan waktu, menatap perubahan tanpa suara.

Dulu, Bang Gade Salam pernah berencana menjadikan area bambu itu taman kecil, taman sejarah tempat masyarakat bisa mengenang asal-usul pusat pemerintahan ini.

Namun rencana itu tak sempat terwujud. Waktu bergulir, generasi berganti, dan semangat yang dulu membangun dari hati perlahan tenggelam dalam debu birokrasi. Bambu itu kini berdiri sendiri, dikelilingi rumput dan daun kering, seperti menunggu seseorang yang tak lagi datang.

“Bang Gade sudah membangun gedung, tapi kita merawatnya saja sekarang berat,” kata Mursyidi, warga Manyang Cut yang masih mengingat masa awal pembangunan. Kalimatnya sederhana, tapi tajam. Dulu ada pemimpin yang membangun dengan nurani, kini banyak yang hanya menempati tanpa makna.

Gedung-gedung berdiri kokoh, namun semangat juang Bang Gade Salam  seakan pudar nyaris tak ada yang mewarisinya. Cot Trieng yang dulu menjadi simbol semangat, kini lebih sering tampak sepi dan redup di malam hari.

Padahal, Cot Trieng bukan sekadar lokasi pemerintahan. Ia adalah prasasti hidup dari rasa cinta antara rakyat dan pemimpinnya. Setiap jengkal tanah di sana pernah disentuh oleh tangan petani, disiram keringat keikhlasan, dan dipatri oleh doa agar daerah ini berdiri tegak dengan martabat. Kini, ketika rumput tumbuh liar di antara gedung-gedung megah, seolah alam pun ingin berbisik: jangan lupakan dari mana semua ini bermula.

Maka jika suatu hari para pemimpin hari ini merasa lelah oleh rapat, angka, dan proyek, datanglah ke halaman belakang kantor PU. Di sana ada rumpun bambu tua yang membawa pesan abadi: “Bangunlah dengan hati, rawatlah dengan cinta, karena sejarah tidak menuntut dipuja, hanya ingin dikenang.”

Cot Trieng bukan sekadar nama. Ia adalah ingatan. Ia adalah jiwa. Ia adalah warisan dari seorang pemimpin yang membangun bukan demi citra, tapi demi cinta kepada tanah tempat ia dilahirkan. (**)