Refleksi 17th Earthquake and Tsunami Aceh, Normalisasi Pergeseran Local Wisdom Pasca 26 Dec 2004
Foto : Fakhrurrazi, M.Si | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Penulis: Fakhrurrazi, M.Si
Pemerhati masalah sosial budaya dan Praktisi Kebencanaan. Alumni Magister Ilmu Kebencanaan ( MIK) USK Banda Aceh
OPINI - Pagi itu pukul 07:58:53 WIB hari Minggu, 26 Desember 2004 bertepatan dengan hari ulang tahun ku, Bumi Aceh tergoncang hebat bagaikan beras dalam tampi. Gempa Bumi 9,3SR disusul Gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan bansighom Nanggroe Bumi keuneunah Iskandar Muda.
Berita bencana maha dahsyat yang berdampak hingga ke Negeri Gajah Putih tersebut dalam hitungan menit tersebar ke seluruh dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu sedang berada di Jayapura bersama Ibu Negara, beberapa Menteri, Jubir dan Stafsus. Melalui Mentri dan Jubir Presiden terus meng-update informasi perkembangan bencana yang melanda Aceh. Informasi yang diterima SBY ketika itu terus berubah, korban meninggal dari belasan, ratusan dan dalam hitungan jam menjadi ribuan.
Dari Papua SBY memerintahkan Jusuf Kalla segera meluncur ke Banda Aceh dan Beliau sendiri menjelang malam 27/12 mendarat di Lhokseumawe bersama para petinggi lainnya. Selasa, 28/12 bergerak ke Banda Aceh, berdasarkan hasil pengumpulan data, observasi lapangan, rapat singkat bersama para menteri, Panglima TNI, Kapolri, Forkopimda Aceh dan tokoh masyarakat Aceh maka ditetapkanlah status Bencana Nasional.
Negara - negara sahabat menawarkan bantuan kemanusiaan namun pro kontra menerima dan menolak tawaran tersebut terjadi di dalam negeri antar para petinggi. Masih melekat erat dipikiran kita ketika itu Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) melalui Keppres No.28/2003 yg ditetapkanlah tgl 19 Mei 2013 oleh Megawati Soekarno Putri (MSP) selaku presiden ketika itu., karena konflik bersejata berkepanjangan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) vs Gerakan Aceh Merdeka ( GAM) yang berupaya mendirikan Negara sendiri, dikarenakan hal tersebut terjadinya pro kontra terhadap masuknya negara asing ke Aceh karena ditakutkan akan adanya operasi intelijen asing, tentara asing akan membantu pihak GAM sebagaimana kita ketahui pihak GAM melalui ASNLF terus menggalang dukungan internasional untuk merdeka, dan para petinggi menakutkan akan terjadinya penyerangan oleh pihak GAM terhadap tentara dan warga asing. Namun dilain sisi krisis kemanusiaan menyayat hati. SBY dengan kebijaksanaan dan jiwa besar nya menerima uluran tangan dunia. Konferensi internasional pun diselenggarakan dan ditetapkanlah Stunami Submit. Sirine Welcome to Aceh bagi Dunia luar dibunyikan dengan catatan bantuan yang diberikan tanpa syarat dan volunteer asing baik militer maupun sipil tetap dibawah kendali Indonesia, khususnya pemerintah dan pimpinan TNI.
Tak kurang 7 ( tujuh) milyar USD dana hibah Negara dan masyarakat internasional masuk ke rekening Indonesia untuk penanganan tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca musibah bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias. Gelontoran anggaran hibah "cuma-cuma" terbesar pada abad 21 untuk normalisasi infrastruktur, fasilitas umum, perumahan masyarakat, pengobatan, rehabilitasi mental, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dll.
Penduduk lokal yang tidak terdampak langsung dan yang selamat dari amuk Smong ikut diajak dan dilibatkan untuk percepatan pemulihan multi sektor dengan salary standar Eropa. Bahkan ketika itu membersihkan rumah sendiri bahkan shalat berjamaah pun di bayar seperti yang terjadi di lokasi pengungsian gedung sosial Banda Aceh. Disinilah malapetaka multi year pergeseran nilai luhur sosia budaya rakyat Aceh ( lokal wisdom) mula terjadi.
BERSAMBUNG