Politik Oportunis dan Pragmatisme di Pidie Jaya: Antara Janji dan Realita
Foto : Fauzi M. Daud, S.Fil | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Politik di Pidie Jaya pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) tak ubahnya panggung besar yang diisi dengan permainan oportunisme dan pragmatisme yang gamblang.
Para aktor politik di Kabupaten berjuluk negeri Japakeh ini tampaknya lebih cenderung memanfaatkan momentum untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada benar-benar peduli pada nasib rakyat yang memilih mereka.
Di balik setiap janji manis yang mereka utarakan, terselip niat licik untuk sekadar memenangkan kursi kekuasaan tanpa beban tanggung jawab moral yang layak.
Pilkada telah menjadi ajang adu kelicikan, di mana prinsip dan ideologi sering kali dikesampingkan demi meraih kemenangan.
Oportunisme politik di Pidie Jaya terlihat jelas ketika para calon kepala daerah berlomba-lomba merangkul siapa saja yang berpotensi membawa suara, tak peduli apakah aliansi tersebut memiliki keselarasan visi atau tidak.
Yang penting adalah angka, suara, dan kemenangan. Prinsip yang dulu mereka gembar-gemborkan menjadi kabur di hadapan tawaran koalisi yang menggiurkan.
Perubahan haluan yang tiba-tiba, pernyataan yang bertolak belakang dengan sikap sebelumnya, semua itu menjadi bagian dari taktik oportunistik yang dilakukan dengan tanpa rasa malu.
Tak kalah berbahayanya, pragmatisme politik yang dipraktikkan di Pidie Jaya kerap kali menipu rakyat. Janji-janji populis yang penuh pesona dilemparkan ke hadapan publik seperti umpan, tanpa ada niat serius untuk benar-benar merealisasikannya.
Pembangunan, pendidikan, kesehatan, semua menjadi bahan jualan politik yang seolah mudah diwujudkan dalam sekejap. Namun, di balik layar, realitasnya tak seindah kata-kata yang diucapkan. Para calon lebih tertarik pada retorika dan citra sesaat daripada komitmen nyata untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi daerah.
Aliansi politik di Pidie Jaya juga menjadi cair dan berubah-ubah, tergantung pada arah angin kepentingan. Hari ini bisa berkawan, besok bisa bermusuhan. Yang mereka incar bukanlah stabilitas politik untuk kebaikan masyarakat, melainkan peluang sesaat yang bisa mendongkrak popularitas atau mendatangkan dana kampanye.
Politik di daerah ini menjadi sangat transaksional, di mana dukungan bisa dibeli dan dijual, dan kesetiaan politik sangat mudah tergadaikan demi imbalan yang menguntungkan.
Dampak dari praktik politik yang oportunis dan pragmatis ini tidak main-main. Ketika pemimpin yang terpilih lebih sibuk membayar hutang politik atau mengurus kepentingan kelompoknya, yang terabaikan adalah rakyat yang sudah berharap banyak pada janji-janji perubahan.
Pembangunan menjadi stagnan, kebijakan menjadi tak berarah, dan masyarakat dibiarkan bergulat dengan masalah-masalah yang tak kunjung tuntas. Tak ada visi jangka panjang, tak ada strategi yang jelas.
Yang ada hanya kebijakan tambal sulam yang sekadar menyelesaikan masalah sementara, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Masyarakat Pidie Jaya yang terjebak dalam lingkaran politik semacam ini sering kali tak punya pilihan lain. Mereka terpaksa menerima kenyataan bahwa pemimpin yang terpilih tak mampu memenuhi janji-janji mereka.
Rasa frustrasi ini hanya semakin memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik. Demokrasi lokal yang idealnya menjadi wadah bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan, justru berubah menjadi permainan kotor di mana kepentingan rakyat menjadi korban pertama.
Di balik semua ini, sebenarnya ada peluang untuk perubahan. Jika rakyat Pidie Jaya mau bersikap lebih kritis dan tidak mudah terpancing oleh janji-janji manis tanpa dasar, mungkin saja mereka bisa keluar dari lingkaran setan politik oportunis dan pragmatis ini.
Namun, itu hanya bisa
terjadi jika ada kesadaran kolektif bahwa politik bukan sekadar permainan kekuasaan, melainkan tanggung jawab besar yang harus diemban dengan integritas dan komitmen nyata untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.
Penulis : Fauzi M. Daud, S.Fil
Alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh