10 Oktober 2025
Opini

Proyek Aneuk Lueng, dari Swakelola ke Rekanan, Potret Buram Pemberdayaan Masyarakat

OPINIDisebuah desa, suara cangkul terdengar beradu dengan tanah basah. Di pinggir sawah, beberapa warga berdiri memandangi parit yang tengah digali. Mereka menyebutnya “proyek aneuk lueng” saluran kecil yang konon untuk mengalirkan air ke sawah. Tapi di balik kerja fisik yang tampak sederhana itu, tersimpan cerita panjang tentang proyek swakelola yang berubah menjadi ladang permainan uang. “Katanya proyek swakelola untuk masyarakat,” gumam seorang warga sambil menyulut rokok, “tapi kami cuma dipakai namanya saja.” 

Program swakelola semestinya menjadi bentuk nyata dari kepercayaan negara kepada rakyat. Pemerintah pusat merancangnya agar masyarakat bisa mengelola proyek kecil secara mandiri, tanpa campur tangan kontraktor. Tujuannya memberdayakan, bukan memperalat. Namun, di lapangan, idealisme itu luluh di hadapan praktik rente yang menjalar seperti akar liar. Dana miliaran rupiah yang seharusnya mengairi sawah, justru mengalir ke kantong mereka yang punya koneksi dan modal. 

Di beberapa desa, pelaksanaan swakelola telah bergeser dari makna sejatinya. Kelompok tani dan organisasi masyarakat hanya jadi nama formalitas dalam dokumen proyek. Rekening dibuka atas nama ketua kelompok, tapi kendali sepenuhnya di tangan pihak ketiga yang disebut “pemilik modal.” Setelah dana cair, uang itu segera ditarik, material didatangkan dari luar, mirisnya lagi para pekerja lapangan bahkan ada yang didatangkan dari luar, bukan lagi warga desa setempat. Sementara pengurus kelompok hanya kebagian “uang kopi dan uang rokok” sekedar pelipur lara agar tak banyak bertanya. 

Seorang ketua kelompok tani yang enggan disebutkan namanya mengaku hanya dijadikan boneka. “Kami disuruh tanda tangan waktu pencairan. Habis itu, semua diambil mereka. Katanya, mereka sudah keluar modal besar ke pusat. Kalau kami ribut, nanti tahun depan gak dapat proyek lagi,” ujarnya lirih. Ketakutan semacam itu tumbuh di hampir setiap desa yang “kebagian” proyek swakelola. Rakyat bungkam karena takut kehilangan kesempatan. 

Ironisnya, banyak pihak justru menganggap kondisi ini normal. Seolah sudah menjadi tradisi bahwa proyek dari pusat harus “dijemput” dengan modal. Bahkan ada pejabat publik dan politisi yang terang-terangan mengaku membawa pulang proyek untuk dibagi ke tim sukses dan kroni politiknya. Swakelola yang semestinya menjadi instrumen pemerataan, berubah menjadi sistem patronase: proyek sebagai alat balas budi. 

“Kalau gak setor, gak dapat proyek. Sesimpel itu,” ujar seorang rekanan yang akrab dengan permainan ini. Ia bahkan berseloroh di warung kopi, “Fee-nya sistem syariah, setor di akhir bukan di awal.” Candaan yang menohok, karena menggambarkan betapa praktik semacam ini telah menjadi bagian dari budaya yang dibungkus dengan bahasa religius agar terdengar sah dan suci. 

Di Aceh, proyek aneuk lueng menjadi simbol paling telanjang dari paradoks pembangunan. Saluran air memang dibangun, tapi yang lebih deras mengalir justru arus uang ke tangan-tangan yang tak terlihat. Sementara masyarakat desa yang seharusnya belajar mengelola, malah dijadikan pajangan dalam laporan kegiatan yang serba rapi. Foto dokumentasi lengkap, tanda tangan basah ada, tapi partisipasi masyarakat nihil. 

Sistem pengawasan yang lemah memperparah keadaan. Pemerintah daerah sering puas dengan laporan tertulis tanpa menelusuri siapa yang benar-benar bekerja di lapangan. Akibatnya, praktik penyaluran proyek kepada “pemilik modal” terus berulang dari tahun ke tahun, seolah menjadi rahasia umum yang disepakati bersama. Semua pihak tahu, tapi pura-pura tidak tahu. 

Kini, Proyek Aneuk Lueng bukan sekadar pembangunan saluran irigasi. Ia adalah potret buram dari penyakit birokrasi kita,  bagaimana program rakyat bisa berubah menjadi alat perburuan rente. Ia menggambarkan wajah pembangunan yang kehilangan arah, dimana rakyat hanya menjadi objek, bukan pelaku. Mereka yang paling tahu kebutuhan desa justru tak diberi ruang untuk mengelola. 

Jika pemerintah benar-benar ingin memurnikan kembali semangat swakelola, maka yang perlu dibangun bukan hanya parit dan saluran air, tetapi juga sistem yang jujur, terbuka, dan berkeadilan. Karena tanpa itu, proyek aneuk lueng hanya akan jadi simbol ironis, saluran kecil yang tak pernah benar-benar mengalirkan kesejahteraan, hanya mengalirkan pundi-pundi  uang, pelan tapi pasti, ke arah yang sama setiap tahun. (TS)