21 November 2024
Opini

Himbauan Agar Rakyat Mengkonsumsi Ubi Pertanda Kegagalan Fatal Pemerintah

Oleh : Jacob Ereste

OPINI - Rentenir itu cara pemberi hutang untuk menjerat mereka yang berhutang. Padahal masalah utang piutang sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Baik oleh pemberi hutang maupun mereka yang berhutang. Sebab budaya hutang piutang itu -- yang dimaksud riba dalam terminologi agama -- tidak baik bagi kedua belah pihak. Maka itu konsep sedekah, tolong menolong bahkan hibah sangat dianjurkan untuk dilakukan untuk menjadi kebiasaan bagi penganut agama yang baik dan benar.

Dalam budaya tolong menolong -- apalagi untuk anggota keluarga sendiri -- tidak sedikit yang meyakininya sebagai suatu kewajiban. Bagi kawan dan sahabat, konsep serupa itu dapat diimplementasikan dalam berbagai  bentuk gotong royong yang sama makna dan hakekatnya dengan solidaritas.

Tapi sikap solidaritas yang bisa mengacu pada soliditas dan keteguhan kaum buruh Indonesia -- kini seperti layu terkulai, tak berdaya melawan gerus budaya kapitalisme yang individualistik itu yabg merupakan  perangai bawaan aslinya kapitalisme. Itulah sebabnya sikap dan sifat individualisme semakin mewabah lalu mencemari kejernihan hati rakyat yang otentik guyub, penuh rasa kebersamaan. Tidak egoistik seperti yang terus menggejala dan sangat meresahkan keutuhan budaya warisan leluhur. Akibatnya, tentu saja kearifan lokal seperti yang masih tersisa dalam masyarakat yang mampu bertahan dari imbas budaya pasar atau budaya perkotaan, masih bisa menikmati keguyuban serta keharmonisannya yang terjaga. Seperti dalam perayaan pernikahan misalnya, sanak famili yang datang dari daerah berbagai pelosok daerah lain, masih mau menyeret kambing untuk disembelih agar ikut memeriahkan acara perkawinan itu. Demikian juga dengan sanak famili yang lain, tak segan memikul beras, menenteng kelapa dan beragam sayur mayur hingga buah-buahan, demi ikut berpartisipasi dalam acara yang perkawinan yang masih dianggap sakral.

Tentu saja berbeda dalam kehidupan warga masyarakat yang sudah menganut budaya perkotaan. Upacara perkawinan di perkotaan -- bagi rakyat kelas menengah bawah -- cukup dilakukan seefisien mungkin. Tak hanya soal dana, tapi juga waktu bagi mereka yang sudah fanatis dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah uang. Jadi jelas orientasinya lebih mengedepankan  materi yang  merupakan dogma dari kapitalisme.

Dalam kesulitan yang sedang dihadapi warga masyarakat  sekarang bukan saja masalah duit dan betapa sukar untuk mendapat pekerjaan saja, tapi juga biaya hidup yang semakin mencekik hingga rakyat dihimbau agar mau makan ubi yang juga langka di pasar. Toh, good estate yang diharap sudah panen justru meninggalkan kerusakan lingkungan bagi warga masyarakat setempat sehingga harus mengungsi ke daerah lain yang bisa sedikit memberi daya tahan hidup untuk sementara.

Belum lagi jumlah warga masyarakat dari daerah lain yang tergusur untuk proyek pemerintah maupun yang diberikan kepada pihak swasta. Celakanya, pihak pengusaha swasta itu pun milik bangsa asing, seperti yang sudah direncanakan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.

Kasus penyerobotan tanah atau lahan milik penduduk setempat menjelang Pemilu 2024 terkesan jadi marak. Hingga fenomena ini kuat diduga dilakukan untuk membiayai kontestan Pemilu, baik legislatif maupun bagi eksekutif yang memang harus ditebus dengan harga yang mahal.

Pengakuan politisi Senior PDIP, Trimedya Panjaitan yang sudah bertebaran di media sosial sungguh membuat banyak orang awan yang terperangah. Bagaimana mungkin untuk menjadi anggota legislatif saja harus tersedia duit  minimal 3 sampai 5 milyar rupiah. Begitu juga untuk Jabatan Gubernur atau Bupati. Sedangkan bagi calon Presiden, minimal harus ada duit 10-12 triliun rupiah.

Agaknya, itulah sebabnya perilaku korupsi di Indonesia jadi ugal-ugalan dilakukan oleh pejabat publik, karena ingin menebus biaya dan ongkos dari rentenir yang sudah terlanjur menjadi hutang piutang yang harus dibayar kontan atau dalam bentuk konsesi yang telah tergadai sebelumnya. Maka itu rakyat yang diamplopi tiga ratus ribuan, bisa saja diterima asalkan suara pilihan tetap untuk kandidat yang terbaik dan tidak lupa pada amanah rakyat. Setidaknya dengan tiga ratus ribu rupiah itu bisa  untuk membeli beras, agar tidak perlu pusing dengan himbauan pejabat negeri ini yang culas memberi saran seperti itu, sementara mereka sendiri itetap ingin mengkonsumsi beras seperti biasanya.

Logikanya untuk mengganti beras dengan ubi itu sungguh tidak masuk akal. Lha, tanaman ubi yang  sudah dirancang melalui program food estate itu saha tak pernah panen. Padahal, kalau ada ubinya, pahamilah harganya pun liar tak mampu dikendalikan oleh pemerintah.