30 Juni 2025
Opini

Mendengar Teriakan Sunyi yang Sering Kita Abaikan

OPINI - Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa bukan lagi kabar yang mengejutkan. Ia menjadi semacam realita pahit yang terus terulang di tengah masyarakat kita. Tekanan sosial yang tinggi, krisis identitas, ekspektasi yang berat dari lingkungan sekitar, dan masalah-masalah pribadi yang tak pernah terselesaikan sering kali menjadi tumpukan alasan yang membuat seseorang merasa tidak sanggup lagi bertahan. Meski terlihat sepele di mata luar, bagi mereka yang merasakannya, setiap luka kecil itu bisa menjelma menjadi jurang yang dalam.

Tetap saja terasa menyakitkan saat kita menyadari bahwa dari miliaran manusia yang ada di dunia ini, ada satu jiwa yang merasa begitu sendiri. Merasa bahwa kepergiannya tidak akan berarti, atau bahkan tidak akan disadari. Padahal, bisa jadi yang mereka butuhkan bukan jawaban instan, tapi seseorang yang mau bertanya, “Kamu baik-baik saja?”

Jika kita melihat dari sisi psikologi, khususnya dalam pendekatan psikologi kognitif, penyebab seseorang menyerah pada hidupnya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sering kali bukan karena mereka tidak mau berjuang, tapi karena mereka sudah terlalu lama berjuang sendirian. Pikiran mereka dipenuhi oleh distorsi kognitif yaitu cara berpikir yang keliru namun terasa sangat nyata. Seperti keyakinan bahwa mereka tidak cukup berharga, bahwa tidak ada masa depan untuk mereka, bahwa dunia akan lebih baik tanpa kehadiran mereka.

Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kapasitas untuk memproses informasi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Namun, dalam kondisi depresi berat, proses berpikir ini terganggu. Seseorang bisa kehilangan kemampuannya untuk menilai situasi secara objektif, dan berpikir secara logis. Pikiran negatif yang berulang, kelelahan mental, dan tidak adanya ruang aman untuk berbagi bisa menutup seluruh kemungkinan solusi yang sebenarnya tersedia.

Sering kali masyarakat menyederhanakan masalah ini dengan berkata, “Kurang iman,” atau, “Dia kurang bersyukur.” Padahal, banyak dari mereka yang memilih mengakhiri hidup bukan karena kurang iman, tapi karena tidak tahu harus bagaimana lagi untuk bertahan. Mereka berada dalam fase kebingungan mendalam di mana logika dan harapan sudah tidak lagi bisa dijangkau.

Jika ditanya siapa yang salah, sebagian mungkin menjawab, “Itu pilihannya sendiri.” Namun, pernyataan ini tidak adil bagi mereka yang sedang tenggelam dalam depresi berat. Ketika seseorang tidak lagi mampu berpikir jernih karena beban mental yang menghimpit, keputusan yang diambil bukan lagi hasil dari nalar yang sehat. Dalam hal ini, keluarga, teman, lembaga pendidikan, bahkan negara, ikut bertanggung jawab. Karena setiap orang yang tumbuh di masyarakat seharusnya tidak dibiarkan berjuang sendirian.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai solusi?

Solusi dari persoalan kompleks seperti bunuh diri pada mahasiswa tidak bisa disederhanakan. Harus ada pendekatan yang menyeluruh mulai dari individu, keluarga, institusi pendidikan, hingga kebijakan negara. Tidak cukup hanya menyalahkan atau bersimpati setelah peristiwa terjadi. Kita butuh sistem yang mampu mencegah sejak awal, memberi ruang aman untuk manusia tumbuh tanpa harus kehilangan arah ketika terluka.

Dari lingkup terkecil, yaitu keluarga, menjadi tempat pertama dan utama dalam membangun ketahanan mental anak. Keluarga perlu menciptakan iklim komunikasi yang terbuka, tanpa menghakimi. Anak perlu dilatih sejak dini untuk mengenali emosi, belajar menyelesaikan masalah dengan berpikir rasional, dan membangun ketahanan diri. Bukan hanya menuntut anak kuat, tetapi juga mengajarkan bahwa menangis dan meminta tolong adalah bagian dari keberanian.

Orang tua perlu dibekali literasi kesehatan mental, bukan hanya agar bisa mendidik anak dengan empati, tetapi juga agar sadar kapan perlu meminta bantuan profesional. Pendidikan bukan hanya soal prestasi, tapi juga tentang keterampilan hidup: bagaimana menghadapi kegagalan, bagaimana menerima diri, dan bagaimana membangun relasi yang sehat.

Di sisi lain, institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar. Sekolah dan kampus tidak boleh hanya menjadi tempat menuntut akademik. Harus ada sistem pendampingan psikologis yang mudah dijangkau dan tidak berjarak. Bimbingan konseling harus diposisikan bukan sebagai ruang “orang bermasalah”, tetapi sebagai tempat aman untuk siapa pun yang merasa lelah, bingung, atau sekadar butuh didengar.

Lebih lanjut, kurikulum pendidikan sebaiknya menyertakan keterampilan hidup (life skills), terutama dalam hal manajemen stres, pemecahan masalah (problem-solving skills), dan pengambilan keputusan yang sehat secara kognitif. Ini semua adalah bagian penting dari psikologi kognitif yaitu bagaimana individu belajar mengenali pikiran-pikiran irasional dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih adaptif.

Tak kalah penting, peran teman sebaya juga sangat besar. Di usia mahasiswa, teman menjadi sistem dukungan yang kadang lebih didengarkan daripada keluarga. Maka, perlu ditanamkan budaya saling peduli, tidak mengabaikan sinyal-sinyal kecil dari orang sekitar, dan tidak meremehkan cerita yang tampak “sepele”. Kesadaran sosial ini harus dibangun lewat diskusi terbuka, edukasi mental health, dan ruang komunitas yang inklusif.

Terakhir, pemerintah dan media pun tidak boleh diam. Pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan mental yang murah, cepat, dan tersebar luas, terutama di lingkungan pendidikan. Selain itu, media harus lebih bijak dalam memberitakan kasus bunuh diri bukan dengan sensasional, tetapi dengan edukatif dan penuh empati.

Karena pada akhirnya, solusi bukan hanya soal mencegah kematian, tetapi bagaimana menciptakan kehidupan yang layak dijalani. Hidup di mana manusia merasa cukup didengar, cukup dihargai, dan cukup kuat untuk bertahan, bahkan saat dunia terasa runtuh sekalipun.

Penulis: Najwa Rifa Amanda, Mahasiswi Semester 6 Fakultas Psikologi UIN  Ar-Raniry Banda Aceh