28 September 2025
Proh Cakra

Pawang Beurandeh & Polem Beuransah Sentil Isu PPPK Paruh Waktu Siluman di Pidie Jaya

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Di pekarangan kantor bupati Pidie Jaya, sawah kecil yang ditanami padi tampak hijau ranum. Di sana, dua sahabat lama, Pawang BeurandehPolem Beuransah, sibuk mengusir burung pipit yang rakus. Ranting di tangan keduanya lebih sering dipukulkan ke udara ketimbang mengenai burung. Namun, bagi mereka, menjaga padi ini sama seperti menjaga keadilan: sulit, melelahkan, dan kadang sia-sia.

“Lihat itu, Polem,” kata Pawang Beurandeh sambil menunjuk seekor burung pipit yang hinggap di bulir padi. “Tak ikut menanam, tak ikut menyiram, tapi paling semangat makan hasil panen.”

Polem Beuransah langsung tertawa pendek. “Haha! Sama persis dengan PPPK siluman, Pawang. Yang sudah kerja bertahun-tahun masih menunggu janji, sementara nama yang entah dari mana tiba-tiba nongol di daftar.”

Pawang Beurandeh menghela napas. “Pejabat bilang tak ada burung pipit di sawah ini. Tapi kau lihat sendiri, bulir habis satu per satu. Mana mungkin padi hilang karena angin?”

Polem Beuransah “Mungkin padi kita disedot langsung ke Dipa dan daftar gaji, Pawang. Angin di sini rupanya bisa tanda tangan absensi kehadiran dan tanda tangan SK.”

Pawang Beurandeh melompat-lompat mengibaskan ranting. “Kalau burung pipit dibiarkan, sawah ini akan kosong.”

Polem Beuransah, kalau banyak siluman “kantor-kantor akan penuh oleh orang-orang yang tak pernah kelihatan bekerja.”

Pawang Beurandeh menatap burung pipit yang kenyang. “Burung pipit ini tak tahu malu, Polem. Perutnya penuh, tapi tetap pura-pura lapar.”

Polem Beuransah terkekeh. “Persis pejabat yang bilang tak ada masalah. Padahal rakyat sudah lihat sendiri, nama misterius masuk daftar. Malah berani bilang itu angin gosip.”

Angin sore berhembus, membuat batang padi bergoyang. Pawang Beurandeh berkata lirih, “Petani hanya bisa pasang orang-orangan sawah.”

Polem Beuransah menukas cepat, “Sama saja dengan rakyat yang hanya bisa pasang status di media sosial. Tak bisa halau pipit, apalagi halau PPPK siluman.”

Pawang Beurandeh kembali menepuk ranting ke tanah. “Kalau pipit kebanyakan, panen gagal. Petani bisa kapok menanam.”

Polem Beuransah menatap sawah kosong. “Kalau pegawai siluman kebanyakan, pelayanan gagal. Honorer bisa kapok bekerja.”

Sejenak keduanya terdiam. Pipit tetap asik berpesta, padi makin sedikit. Akhirnya Pawang Beurandeh bersuara getir, “Menjaga sawah ternyata sama susahnya dengan menjaga birokrasi, Polem.”

Polem Beuransah menghela napas panjang. “Benar, Pawang. Bedanya, pipit masih bisa kita usir dengan ranting, tapi PPPK siluman entah dengan apa bisa diusir. Mungkin kita butuh orang-orangan kantor, bukan orang-orangan sawah.”