Pawang Beurandeh & Polem Beuransah: Rencong Kiri Kanan Empat Palau Melayang
Pawang Beurandeh: Polem, kau ingat dulu? Orang Aceh kalau ke Medan, rencong diselip kiri-kanan. Tapi tetap saja dompet bisa hilang tanpa jejak.
Polem Beuransah: Tentu, Pawang. Waktu itu kalau tidak waspada, bisa-bisa pulang hanya tinggal tiket. Tapi sekarang ceritanya lain lagi?
Pawang: Benar. Sekarang bukan dompet yang hilang, Polem. Tapi pulau, dan yang mengambilnya bukan copet, tapi surat resmi.
Polem: Kalau zaman dulu mengambilnya pakai tangan cepat, sekarang pakai tanda tangan cepat. Sama-sama licin.
Pawang: Coba kau tengok Pulau Panjang, Lipan, Mangkir... katanya sudah pindah halaman peta. Entah sejak kapan, tanpa suara gendang.
Polem: Itulah hebatnya zaman. Apa-apa bisa berubah hanya dengan garis lengkung di atas kertas.
Pawang: Tapi hati kami di Singkil tidak lengkung, Polem. Ia masih lurus, dan merasa tercabik.
Polem: Kalau bicara soal batas wilayah, harusnya bukan cuma soal peta, tapi juga nurani. Sayangnya, itu sering kali dilupakan.
Pawang: Dulu kami jaga tanah ini dengan rencong. Sekarang, ternyata rencong tak cukup kuat menghadapi pena.
Polem: Pena itu memang kecil, tapi mampu memindahkan batas lebih jauh dari tombak.
Pawang: Yang kami heran, mengapa ketika rakyat Singkil bersuara, justru dianggap terlalu ribut? Padahal yang kami pertahankan bukan ambisi, tapi akar.
Polem: Betul, Pawang. Kami tidak anti pembangunan. Tapi kalau pembangunan dimulai dari menghapus identitas, lalu apa yang tersisa untuk anak cucu?
Pawang: Mungkin esok, ketika anakku bertanya di mana Pulau Panjang, aku harus jawab, "Coba cari di Google Maps. Tapi hati-hati, lokasinya sudah bergeser."
Polem: Kalau sudah begitu, jangan-jangan nanti sawah ini pun dianggap milik tetangga. Hanya karena satu koordinat digeser ke kiri.
Pawang: Di kampung ini kami belajar, kalau mengambil sesuatu bukan haknya, itu namanya mencuri. Tapi kalau di ranah birokrasi, entah apa namanya.
Polem: Mungkin namanya “penyesuaian administratif.” Terdengar manis, padahal getirnya sampai ke akar rumput.
Pawang: Aku tak ingin cucuku nanti tumbuh sebagai orang asing di tanah sendiri. Ia harus tahu, bahwa pulau-pulau itu bukan hanya titik di peta, tapi bagian dari tubuhnya.
Polem: Jika kami diam, bukan berarti kami setuju. Hanya saja kami terlalu terbiasa ditinggal pelan-pelan.
Pawang: Ayo, Polem. Selesai mencangkul, kita ajak pemuda ke meunasah. Kita ajarkan sejarah yang tak akan mereka temukan di buku cetak.
Polem: Supaya kelak, mereka tak hanya tahu memegang pena, tapi juga tahu kapan harus berdiri tegak untuk membela tanahnya.