24 Desember 2025
Opini

BNPB dan TNI Bertaruh Nyawa di Medan Bencana

Penulis: Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)

OPINI- Banjir dan longsor yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah Sumatera di penghujung 2025 bukan sekadar bencana alam. Ia adalah akumulasi panjang dari kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, ditambah kegamangan negara dalam mengambil keputusan politik saat rakyat berada di ujung keselamatan. Di tengah kekacauan itu, hanya satu hal yang bekerja tanpa banyak bicara yakni BNPB, TNI, dan relawan.

Aceh dan Sumatera sejatinya telah lama hidup berdampingan dengan banjir dan longsor. Namun, bencana kali ini melampaui batas kewajaran. Curah hujan ekstrem yang turun berhari-hari memang menjadi pemicu, tetapi kerusakan hutan akibat ekspansi sawit, konsesi HPH, dan tambang telah melucuti alam dari fungsi dasarnya sebagai penyangga kehidupan. Air yang seharusnya diserap tanah justru berubah menjadi arus penghancur, membawa lumpur dan batang kayu raksasa ke permukiman warga.

Dalam hitungan jam, rumah, jalan, jembatan, dan fasilitas umum luluh lantak. Warga kehilangan bukan hanya harta benda, tetapi juga rasa aman. Pada titik inilah negara seharusnya hadir cepat, tegas, dan menyatu. Namun yang kembali terlihat adalah pola lama, yaitu informasi terlambat sampai ke pusat, pernyataan pejabat normatif dan terkesan menenangkan di atas kertas, tetapi jauh dari kenyataan lapangan.

Ketika pemerintah daerah terdampak secara terbuka menyatakan ketidakmampuan menangani bencana dengan sumber daya yang ada, publik menanti satu keputusan krusial, terkait penetapan status bencana nasional. Bukan demi prestise politik, melainkan untuk membuka kran anggaran, mempercepat mobilisasi lintas kementerian, serta menghilangkan sekat-sekat birokrasi yang kerap memperlambat penyelamatan nyawa.

Namun keputusan itu tak kunjung hadir. Di tengah tarik-menarik politik dan kehati-hatian yang berlebihan, masyarakat di lokasi bencana berhadapan langsung dengan kenyataan pahit, bahwa bantuan harus tiba dengan atau tanpa status nasional.

Di saat negara di level kebijakan masih berhitung, kerja nyata justru dilakukan di medan paling berbahaya. Sejak Gubernur Aceh menetapkan status tanggap darurat hingga 25 Desember 2025, BNPB bersama TNI dan relawan lokal bergerak tanpa jeda. Kodam Iskandar Muda mengerahkan sekitar 13 batalyon, termasuk satuan zeni, untuk membuka akses ke wilayah-wilayah yang terisolasi total.

Medannya bukan medan biasa. Jalan terputus, jembatan runtuh, longsor susulan terus mengancam. Distribusi logistik dan evakuasi korban kerap hanya bisa dilakukan melalui udara. Helikopter dan pesawat sayap tetap dikerahkan, sementara di darat ratusan truk berjibaku menembus jalur rawan longsor.

Fakta lapangan menunjukkan betapa mahalnya harga keterisolasian. Seorang relawan mencatat, pada fase awal bencana, pengiriman bantuan seberat tiga ton dari Banda Aceh ke Aceh Tengah membutuhkan biaya hingga Rp25 juta, hanya untuk menyeberangi sungai dan mengangkut logistik secara manual. Angka ini menggambarkan betapa rapuhnya infrastruktur dan betapa berat beban yang dipikul para pelaku lapangan.

Ironisnya, di ruang publik justru muncul narasi yang menyudutkan BNPB, TNI, dan relawan. Keterlambatan bantuan kerap dituding sebagai kelalaian operasional, seolah medan ekstrem dan keterbatasan akses adalah persoalan sepele. Padahal, pemantauan langsung menunjukkan sebaliknya, bahwa mereka bekerja tanpa mengenal hari dan jam, menembus hujan, lumpur, dan risiko kematian, tanpa pernah menuntut pujian.

Yang luput dari kritik tajam justru absennya kekompakan di level kebijakan pusat. Ketika status bencana nasional tidak ditetapkan, sebagian kementerian terkesan menjaga jarak, seolah urusan kemanusiaan dapat ditunda karena alasan administratif. Sikap ini bukan hanya mencederai rasa keadilan sosial, tetapi juga melemahkan semangat kebangsaan dalam menghadapi krisis bersama.

Ke depan, tantangan yang lebih berat menanti: rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahapan ini jauh lebih kompleks daripada tanggap darurat. Tanpa perencanaan matang, pemulihan justru berisiko mengulang kesalahan lama, yakni membangun kembali di atas fondasi kebijakan yang rapuh dan tata ruang yang abai terhadap risiko bencana.

Presiden Prabowo berada pada persimpangan penting. Konsistensi kepemimpinan diuji bukan oleh pidato, melainkan oleh keberanian menggerakkan seluruh kementerian dan lembaga secara terpadu, serta meninjau ulang kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang selama ini memperbesar kerentanan bencana.

Sebuah ungkapan getir kembali menemukan relevansinya: saat bencana datang, rakyat mengingat Tuhan, BNPB, dan TNI; ketika keadaan normal, semuanya dilupakan. Yang seharusnya tidak ikut dilupakan adalah tanggung jawab negara. Sebab bencana bukan hanya soal hujan dan longsor, tetapi tentang pilihan politik, apakah negara hadir sepenuhnya, atau sekadar menjadi penonton ketika rakyatnya berjuang bertahan hidup.