KIP Abdya, Ketiadaan Keterwakilan Perempuan
Oleh: Moulidia
OPINI - Setelah melalui beberapa tahapan yang dimulai dari tanggal 27 April 2023, akhirnya Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat Daya menetapkan lima orang komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Abdya periode 2023-2028. Hal ini disampaikan komisi A DPRK Abdya dalam berita acara yang kemudian telah disebarkan oleh beberapa media. Proses seleksi KIP Aceh Barat Daya cukup menarik antusias putra-putri terbaik kabupaten yang berjuluk Breuh Sigupai untuk bertarung.
Pemilihan komisioner KIP memang diselenggarakan lima tahun sekali dalam upaya menyelenggarakan dan menyukseskan pesta demokrasi. Maka bisa dipastikan komisioner KIP Abdya yang baru saja ditetapkan adalah orang-orang terpilih yang sudah melewati berbagai tahapan yang dilaksanakan oleh panitia pelaksana, sebelum pada akhirnya nama-nama yang dianggap layak diserahkan ke DPRK Abdya untuk proses akhir. Namun sedikit sangat disayangkan dari lima orang komisioner tersebut tidak adanya keterwakilan perempuan bahkan dalam daftar nama yang lulus cadangan. Padahal hingga proses akhir di panitia seleksi masih ada beberapa peserta perempuan yang lulus, tetapi diproses akhir di DPRK malah tidak ada satupun perempuan yang lulus.
Jika melihat pada pasal 10 ayat (7) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bahwa kompisisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU Provinsi, keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Hal yang sama juga dibahas dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota pada pasal 35 ayat (3) bahwa tim seleksi menetapkan calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, dan juga terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2018 tentang perubahan atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh pada pasal 5 ayat (4) bahwa memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) apabila memenuhi syarat dan ketentuan.
Maka demikian, ketiga aturan di atas seharusnya bisa menjadi pertimbangan bagi DPRK Abdya khususnya komisi A DPRK Abdya dalam menetapkan komisioner KIP Abdya yang lulus. Walaupun aturan tersebut tidak bersifat mutlak dikarenakan dalam penyeleksian juga memperhatikan kemampuan dan profesionalitas dalam kompetisi guna mewujudkan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Namun kendati demikian, hal tersebut bisa diwujudkan melalui pemberlakuannya affirmative action saat proses penetapan komisioner KIP Abdya, yaitu memberikan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu dalam hal ini perempuan untuk tercapainya kesetaraan. Bisa saja hal itu disebabkan seperti kurangnya akses pada perempuan tersebut sehingga tidak bisa merebut kesetaraan.
Affirmative action memang tidak bisa dipaksakan, karena lagi-lagi juga harus mempertimbangkan kemampuan individu. Namun, seperti pada kutipan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 74/PUU-XI/2013 affirmative action bisa diberikan apabila calon anggota perempuan telah lulus semua tahapan seleksi dan memenuhi kualifikasi yang sama dengan calon anggota laki-laki, jika calon anggota perempuan itu belum terpilih maka bisa diutamakan untuk menjadi anggota KPU, KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota. Padahal jika mengacu pada penjelasan di atas, DPRK Abdya bisa saja memperhatikan norma hukum terkait kuota 30% (tiga puluh persen) tersebut, namun dalam hal ini luput dari perhatian DPRK Abdya.
Bagaimana tidak, dari lima komisioner KIP Abdya yang baru saja ditetapkan diketahui tidak adanya keterwakilan Perempuan. Padahal dari 15 nama yang diusulkan oleh panitia seleksi ke komisi A DPRK Abdya ada dua orang perempuan, jangankan masuk ke dalam lima besar, lulus cadangan pun tidak, padahal mereka juga sudah melewati berbagai tahapan test yang dilakukan oleh panitia seleksi. Maka patut dipertanyakan mengapa DPRK Abdya tidak memperhatikan kouta 30% (tiga puluh persen) tersebut? Apakah disebabkan oleh minimya anggota DPRK Abdya yang berjenis kelamin perempuan? Ataukah kemampuan perempuan Abdya yang belum siap berdaya saing?
Maka oleh karena itu, patutlah hal ini menjadi perhatian bersama agar ke depannya perempuan semakin meningkatkan kapasitas dan memperkuat akses jaringan sehingga siap berdaya saing dan dapat mengambil peran strategis dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang pro perempuan dan kelompok rentan lainnya, hal ini penting mengingat di periode kali ini tidak ada satupun perempuan, sedangkan periode sebelumnya ada dua orang perempuan yang menjadi komisioner KIP Abdya.
Akhir tulisan, penulis mengucapkan selamat atas terpilihnya komisioner KIP Abdya periode 2023-2028 semoga bisa menjalankan amanah dengan menjunjung tinggi integritas, solidaritas, professional, dan loyalitas serta bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Semoga nantinya keterwakilan perempuan dilihat bukan hanya sebagai teori saja namun nyata dalam praktiknya sehingga semakin banyak perempuan yang siap bertarung dalam pertempuran apapun yang bisa diikuti serta siap memenangkan pertarungan.
Penulis Adalah Warga Aceh Barat Daya