Biar Mereka Berkata, Kita Tetap Melangkah
Oleh: H. Fakhrurrazi, S.ST., M.Si
Penulis Tafakur & Reflektif Jiwa| Pengurus Masyarakat Pidie Jaya Peduli
OPINI - “Wahai anakku… bila kau dan aku menaiki keledai ini, mereka akan berkata ‘Betapa kejamnya dua manusia terhadap seekor binatang lemah.’ Bila hanya kau yang menaikinya, mereka berkata ‘Anak yang durhaka, membiarkan ayahnya berjalan.’ Bila aku sendiri yang naik, mereka menyebutku ‘Ayah yang egois dan tak tahu diri.’ Bila kita menuntun keledai itu tanpa naik, mereka berkata ‘Bodoh benar dua orang ini, kenapa tidak ditunggangi saja keledainya?’”
– Pelajaran Hidup Luqmanul Hakim kepada anaknya, dalam hikayat yang terus hidup lintas zaman.
Apapun yang Kita Lakukan Akan Selalu Salah di Mata Mereka
Dalam hidup ini, akan datang masa di mana apapun yang kita kerjakan akan tetap terlihat salah. Bahkan kebaikan yang kita lakukan akan dibaca sebagai kepalsuan, ketulusan dicurigai, kesederhanaan dianggap kelemahan, dan keberanian dimaknai sebagai kesombongan.
Mereka yang tak memahami perjuangan kita, akan mudah menghakimi. Mereka yang tak ikut menanggung beratnya langkah, merasa berhak menilai arah.
Dalam dunia yang kian riuh dengan suara-suara sumbang, kata-kata Luqmanul Hakim itu tak pernah usang. Justru kian relevan. Kita hidup di zaman di mana jari-jari cepat menuding, tapi hati lambat memahami.
Mata yang Iri Tak Akan Pernah Melihat dengan Jernih
Mengapa kebaikan sering kali dibaca sebagai kesalahan? Psikologi menyebutnya sebagai proyeksi emosional, yaitu kecenderungan manusia untuk melemparkan rasa tidak aman, rasa gagal, dan luka batin mereka ke orang lain.
Kita sedang menghadapi generasi yang haus pengakuan, namun miskin keteladanan. Banyak yang tidak sedang mencari kebenaran, melainkan sedang membenarkan perasaan mereka sendiri. Maka, wajar jika kebenaran kita pun mereka salahkan. Bukan karena salah, tapi karena mereka belum berdamai dengan batin sendiri.
Budaya Menghakimi, Ketika Kebisingan Mengalahkan Kebijaksanaan
Sosiologi menegaskan bahwa kita hidup dalam budaya penilaian. Segala hal, mulai dari gaya berpakaian hingga pilihan keputusan publik dinilai, dikomentari, dibenturkan dengan standar yang tidak adil.
Di sinilah masalahnya: publik bukan hanya menilai, tetapi sering lupa bahwa mereka hanya melihat sepotong kecil dari cerita besar yang tak mereka jalani. Mereka lupa, bahwa yang menanggung konsekuensi dari setiap langkah bukan mereka, melainkan kita.
Framing dan Manipulasi Opini Publik
Ilmu komunikasi menjelaskan bagaimana narasi bisa dimanipulasi. Orang yang menyumbang untuk masyarakat bisa dituduh sedang mencari pencitraan. Pemimpin yang tegas dianggap otoriter. Mereka yang menolak korupsi dianggap sok suci.
Itulah efek framing. Dan kita tahu, framing yang konsisten bisa menutupi fakta. Bahkan bisa membuat yang benar terlihat salah, dan yang salah terlihat benar di mata mereka yang malas berpikir jernih.
Etika dan Filsafat Moral, Hidup Bukan Tentang Disukai, Tapi Tentang Bertanggung Jawab
Dalam filsafat moral, kita diajarkan bahwa yang utama dalam hidup bukan popularitas, melainkan tanggung jawab atas prinsip. Immanuel Kant mengatakan bahwa moralitas terletak pada motif yang baik dan kesetiaan terhadap kewajiban, bukan pada hasil atau reaksi orang lain.
Kita tidak hidup untuk memuaskan semua orang. Kita hidup untuk bertanggung jawab terhadap nurani, terhadap Allah, dan terhadap mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan kehadiran kita.
Dari Sisi Spiritualitas Allah Melihat Isi Hati, Bukan Suara Ramai
Dalam Islam, nilai perbuatan bukan diukur dari respons orang, tetapi dari niat dan keikhlasan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Orang-orang mungkin membolak-balik cerita kita, tapi Allah tidak pernah salah membaca. Itulah sumber kekuatan sejati: bahwa kita berjalan bukan untuk mereka, tetapi karena Allah dan untuk kebaikan yang hakiki.
Biar Mereka Berkata, Kita Tetap Melangkah
Kisah Luqmanul Hakim adalah isyarat abadi bagi manusia yang ingin tetap waras dalam keramaian dunia. Jangan harap kita bisa menyenangkan semua orang. Karena bahkan para nabi pun dicaci, bahkan Rasulullah SAW pun difitnah.
Kalau begitu, mengapa kita harus berhenti melangkah hanya karena komentar mereka?
Biarlah mereka berkata…
Kita tetap bekerja.
Biarlah mereka menuding…
Kita tetap mengabdi.
Biarlah mereka mencibir…
Kita tetap jujur.
Biarlah mereka membuat cerita…
Kita tetap di jalan yang benar.
Hidup ini terlalu singkat untuk dikelola berdasarkan komentar orang lain. Maka tanamkan di hati: "Biar mereka berkata. Kita tetap melangkah"
Pejuang sejati tidak membutuhkan panggung, karena ia tahu bahwa jalan kebenaran sering kali sepi. Ia tahu, kebenaran tidak selalu menang di mulut banyak orang tapi ia akan menang di mata Tuhan.
Kita tidak perlu menjelaskan diri kepada semua orang. Yang perlu kita pastikan bahwa langkah ini lurus, niat ini tulus, dan kita tetap waras meski dicaci dalam keheningan.