27 Juli 2024
Opini

Dilema Politik Uang Diujung Peng Griek

Foto : Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Gontok-gontokan sudah nggak musim...Adu doku ini yang ditunggu-tunggu... 

Pemilu tempat berpestanya uang palsu... 
Habis kalau nggak gitu nggak lucu...

Didepan sebuah gubuk tua yang penuh dengan kartun bekas, sayup-sayup terdengar nyanyian diiringi genjrengan gitar dari seorang pria. Perlahan aku mendekati pria itu, aku tertarik dengan lirik lagu yang ia nyanyikan. Tanpa mempedulikanku dia tetap menyelesaikan nyanyian nya.

Program-program berseliweran....
 Seperti dongeng zaman kecil dulu.... 
Walau ternyata hanya kibul doang.... 
Tapi kampanye bikin hati senang...
lalala...alalala...naa..nananana...nanaaaa...

Selesai bernyanyi ia menatapku dengan tajam lalu bertanya, “ anda siapa?”

“oh..saya Leman, tinggal di desa sebelah, saya sudah lama merantau dan baru sekarang pulang ke kampung”. Ucapku sambil menyodoran tangan

“aku Manyang Kaoy, panggil saja aku Kaoy” ujarnya “lalu untuk apa anda kemari ? “ Tanyanya dengan penuh rasa curiga

“oh.. maaf, hanya sekedar lewat dan tertarik mendengar anda bernyayi.” “Kenapa bertanya sedemikian ?” tanyaku

“tidak, saya kira anda adalah bagian dari orang-orang berlidah licin. akhir - akhir ini banyak yang datang menemui orang-orang miskin seperti aku untuk menawarkan peng griek dan berbagai macam bualan, dengan satu syarat aku harus memilih caleg yang di tunjuknya ". ujarnya.

Seketika aku jadi teringat bahwa sekarang di negeri antah berantah sedang musim menjelang pemilu. Disini sudah menjadi hal yang lazim dimana pemilu sendiri menjadi musim dimana para caleg berlomba-lomba menghembuskan angin surga dan menyuapi peng griek (uang receh ) kepada masyarakat. angin surga sendiri adalah Pernyataan verbal yang tak pernah jadi kenyataan. Kasarnya, janji-janji palsu atau prospek kosong yang bernilai semu di ucapkan oleh para caleg maupun timses untuk menarik perhatian orang-orang agar menaruh harapan kepadanya. Meski demikian banyak juga orang yang percaya dan terbuai. Gara-gara itu banyak masyarakat yang cacat dalam menentukan pilihan. Setidaknya itulah yang terjadi disini.

“lalu apa anda menerima tawaran mereka ? “ tanyaku dengan hati-hati

“tidak” jawab nya.

“kenapa ?” tanyaku lagi
“apakah pantas suara yang menentukan nasib bangsa kedepannya ditukar dengan sembako, uang recehan bahkan janji-janji palsu yang bahkan mereka sendiri pun tidak yakin bisa melakukannya ?”

“mereka itu orang-orang cacat yang ambisius yang tidak mampu memahami fungsinya sebagai legislatif, jika mereka kelak menjadi masyarakat elit, yakinlah! Mereka akan sibuk menyempurnakan kecacatannya, dan bisa dipastikan mereka tak sempat lagi menyalami rumah-rumah seperti saat ini..!!”

Aku tertegun mendengar jawabannya, tak disangka dibalik penampilan nya yang kumal ia juga punya pemikiran yang tajam.

“lalu kenapa anda tidak menerima saja uang nya tapi jangan pilih orang nya?” aku kembali bertanya

“huh..dengan begitu apakah nantinya akan terwujud demokrasi yang taat aturan ?” ujarnya sambil menghela nafas. Tanpa memberiku waktu untuk menjawab, ia kembali berujar

“Mestinya apa yang kulakukan manjadi dogma agar terciptanya pencerdasan dalam demokrasi dan berpolitik, sesuai dengan ketentuan agama. Bukankah yang memberi dan menerima dalam hal itu hukum nya haram ? karena termasuk suap dan melanggar ketentuan agama ”

Aku mengiyakan apa yang ia katakan.

Memang benar, sikap seperti itu penting bagi keberlangsungan demokrasi, agar tidak terbangun stigma bahwa hanya yang punya uang saja yang bisa mencalonkan diri, tanpa mempedulikan kapasitas dan kualitas diri. Sudah seharusnya warga Negara yang mencalonkan diri adalah orang yang benar tahu persoalan politik, moral, dan paham merancang qanun atau aturan yang berpihak kepada masyarakat.

Aku semakin tertarik untuk melanjutkan diskusi, kukeluarkan bungkus rokok, kutawarkan ia sebatang, ia menerima, lalu beranjak dari tempat duduknya.

“mau kemana ?” Tanyaku

"Sebentar, akan kubuatkan kopi " jawabnya sambil tersenyum.

Aku juga ikut tersenyum sambil melihat sekeliling, mataku tertuju pada pintu gubuknya, disitu terdapat satu kalimat yang ditulis dengan cat minyak warna merah, bunyinya “Harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga”, aku tahu, itu adalah Sebuah kalimat dari seorang filsuf yunani, aristoteles. Aku semakin penasaran dengan pria itu.

Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa 2 gelas kopi, diberikannya segelas kepadaku. Aku menerima sembari mengucapkan terimakasih.
Lalu dia menatapku lagi dengan tajam sambil berkata,”apa lagi yang ingin anda tanyakan ?

“Hah..?! aku terkejut,sepertinya ia bisa membaca pikiranku

“apa harapan anda ?” tanyaku

Dia tersenyum, sembari menyeduh kopi dia menunjuk kehalaman gubuk nya, terlihat sehelai kain bendera yang tergantung di tiang bambu, warna nya sudah lusuh

“itu harapanku” ujarnya

“Apa maksudmu ? Tanyaku heran”

“merdeka…!” jawabnya.

“kita tidak benar-benar merdeka, kita masih belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, korupsi, dari rasa takut dan kita juga belum merdeka dari mental “peng griek” ujarnya sambil tertawa

Ia kembali menghisap rokoknya, lalu kembali berkata

“lihat lah, sudah berapa puluh tahun kita merdeka tetapi masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, lapangan kerja sulit didapat, korupsi semakin menjadi-jadi, aspirasi masyarakat banyak yang diabaikan begitu saja. Pemilu diadakan 5 tahun sekali, tapi tidak terjadi perubahan kearah yang lebih signifikan, pemilu hanya mengganti orang nya saja tapi sikap, kebijakan dan juga mentalitas tidak jauh beda dari yang sebelumya, apakah itu bisa dikatakan merdeka ?, memang tidak semua dari mereka seperti itu, ada beberapa yang masih memiliki nurani yang mampu melihat sesuatu dengan kejernihan hati, tapi itu sangat sedikit, bahkan tak jarang mereka dianggap sebagai anomaly.”

Aku mengangguk setuju.

“lalu bagaimana upaya kita dalam menyikapi hal itu, bagaimana pemimpin yang baik menurut anda bung Kaoy ?”

Tanyaku lagi, aku semakin tertarik untuk mendengarkan apa yang ada di isi kepalanya

“Menurutku kita tidak boleh memberi panggung kepada mereka yang ingin menciderai demokrasi dengan melakukan money politic, kita sebagai masyarakat harus jeli dalam memilih calon legislatif maupun eksekutif dengan melihat track rekornya. Kita harus sadar bahwa mereka yang memperoleh kepemimpinan secara ambisius hanya akan menjadikan rakyat sebagai buih retorika dan bualan. Mereka akan menutup dirinya dari rakyat !”

“Sebelum menjawab pertanyaan anda yang kedua saya ingin bertanya, apa fungsi kita sebagai manusia ? untuk apa kita diciptakan ?”
Aku sedikit terhenyak dengan pertanyaan nya, jujur, terkadang aku juga lupa akan fungsi ku sebagai manusia.

“untuk menjadi khalifah” jawabku hati-hati

“yap..benar, Allah SWT. Menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya mahkluk. Meletakkan tugas, tanggung jawab, dan memandunya mencapai kualitas diri sebagai mahkluk terbaik. Hal itu secara tegas dinyatakan -Nya dalam berbagai kitap suci, khususnya al-Qur’an. Namun, pada kenyataanya, manusia acap kali kehilangan dan menghilangkan dimensinya sebagai mahkluk terbaik.”

“bagiku pemimpin yang baik salah satunya adalah mereka yang mempunyai integritas. Integritas bagiku menjadi faktor penting karena integritas sebagai kepribadian menempatkan manusia sebagai supreme dalam keseluruhan tatanan hidup diatas muka bumi. Mereka yang tidak mempunyai integritas, keberadaan dan kualifkasinya setara dengan hewan. Bahkan bisa dikatakan lebih rendah dari hewan. Aku mengatakan demikian karena seluruh karakter hewani dimiliki oleh manusia yang tidak mempunyai integritas.” Ujarnya panjang lebar

“Lalu bagaimana cara kita mengenal mereka yang berintegritas?” Tanyaku lagi

“yaa…untuk mengetahui itu lihat saja bagaimana kualifikasi mereka. Integritas menjadi pembeda yang nyata karena didalamnya terdapat dimensi kedalaman manusia. Mulai dari spritualitas, relijiulitas, sampai akhlak. dalam ajaran islam, Manusia yang mempunyai integritas pribadi mesti memenuhi 4 kriteria : amanah, shiddiq, fathonah, dan tablig. saya tidak perlu jelaskan itu satu persatu, saya rasa anda sudah memahami itu” Ujar nya sambil tersenyum.

Aku juga ikut tersenyum

“Memang benar, manusia sebagai reprensentative ditempatkan Allah diatas muka bumi, untuk melakukan sesuatu pada kurun waktu tertentu hingga manusia menemukan ajalnya; melakukan berbagai upaya dan tindakan kehidupan bernama perubahan serta menciptakan kondisi kehidupan manusia yang lebih baik dari masa sebelumnya. Kendati demikian, kenapa masih ada begitu banyak manusia yang memandang hidup ini hanya sekedar dimensi ruang tempat bermain, bahkan mereka menganggap rakyat juga sebagai mainan, kenapa mereka terus ada seakan-akan bertambah banyak saja ? “ Tanyaku lagi

“ mereka bukan manusia, tapi lebih tepatnya mayat hidup atau di film barat sering disebut dengan zombie,” ujarnya

“ah..zombie ? kenapa begitu, apa hubungan nya dengan zombie? “

kening ku mengkerut mendengar itu, tadi ia berbicara seperti seorang filsuf, tapi sekarang dia berbicara hal yang tidak masuk akal, aku jadi curiga, jangan-jangan dia hanyalah orang gila, lebih tepat nya yah..filsuf gila..!!”
“ apa anda tidak lihat ? mereka berkeliaran di lingkungan sosial kita, mereka bergerombolan di kantor-kantor pemerintahan, diberbagai perusahaan, pusat perdagangan, markas-markas besar partai politik, bahkan ada yang kita pilih untuk menjadi pemimpin dan wakil kita dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Tapi apa yang mereka lakukan ? mereka sama sekali tak memiliki daya cipta, keberadaan mereka tak hanya merugikan pemerintahan ataupun perusahaan, tapi juga merugikan hakikat keseluruhan eksistensi manusia. Bersama mereka masalah bertumpuk, problematika membanjir sedangkan mereka sibuk dengan dirinya sendiri, cuek dengan keadaan sekitar. Kalaupun menunjukkan aktivitas, lebih banyak menjadi duri dalam daging.”

Dia terdiam sejenak, kembali menyeruput kopi nya, lalu melanjutkan.

“mereka tak pernah sadar bahwa keberadaan mereka tak diperlukan dilingkungan sosial manapun, bahkan sebaliknya mereka malah merasa dirinya penting dan utama. Mereka terjerembab didalam kukungan obsesi dan asumsi individualitasnya, dan tak pernah merasa berdosa ketika keberadaannya diam-diam menjadi public enemy. mereka itu adalah golongan manusia yang mati akal pikiran, naluri, nurani dan juga mati rasa, lantas apa kata yang pantas kusebutkan untuk mereka selain mayat hidup ?”

Aku manggut-manggut, aku kembali setuju dengan penjelasannya.

Daya cipta manusia memang merupakan pangkal dari perubahan, begitulah yang dikatakan oleh De bono edwar salah seorang penulis, dokter dan juga psikolog dari Malta Manusia harus bisa memainkan peran asasinya sebagai pengendali perubahan. Manusialah yang yang mesti menentukan apa saja sentra kepeduliannya dalam melakukan perubahan agar terwujudnya kondisi yang paling kondusif bagi tercapainya idealistika diseluruh lapangan kehidupan.

“Lalu kenapa mereka seakan tidak ada habisnya, malah bertambah banyak saja ?” aku mengulang pertanyaan tadi.

“hei bung Leman, apa anda masih tidak mengerti juga ? sia-sia saja waktu ku dari tadi berbicara panjang lebar” ujar nya dengan sedikit kesal

Aku hanya bisa tertawa

“salah satu nya karena kita..! kita sebagai masyarakat masih bermental “peng griek” yang mau menukar suara hanya dengan sedikit uang dan ilusi-ilusi yang tak pasti, kita hanya memikirkan hari ini, kita abai terhadap hari depan, kita hanya mementingkan diri sendiri dengan sedikit iming-iming kelak jika dia menang kita akan diberi sesuatu lalu kita tergiur, kita lupa bahwa setiap pemimpin maupun wakil rakyat adalah mereka yang bisa memimpin dan mewikili suara rakyat banyak, bukan hanya mementingkan suatu golongan saja. kita memberi mereka panggung serta ruang untuk mereka bermain. jika mereka mempermainkan kita, itu tidak sepenuhnya salah mereka. maka dari itu ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menghantarkan para zombie itu dengan cara yang tidak terhormat ketempat yang paling relevan dan sesuai, tentunya diluar pemerintahan.” Ujarnya dengan sangat bersemangat
Aku tersenyum, malam ini aku seakan menemukan sesuatu yang berarti, aku merasa seperti seorang murid yang sedang mendengar wejangan seorang filsuf.

Aku semakin penasaran, siapa sebenarnya pria ini, saat aku ingin bertanya, ia sudah beranjak dari tempatnya. Tangan nya menunjuk jam dinding lusuh yang tergantung di depan pintu masuk gubuknya, “sudah jam 1, aku mau tidur, besok aku harus bangun pagi untuk menggais rezeki” ujarnya

“oh,,,baik, terimakasih atas waktu nya, saya juga mau izin pamit”

Dia tersenyum, lalu masuk kedalam gubuknya

“Di perjalanan aku masih memikirkan, sebenarnya siapa pria itu, kenapa dia tinggal di pinggiran desa, gubuknya agak terasing apakah dia adalah seorang filsuf atau dosen dari salah satu kampus yang sedang menyamar untuk riset nya ? atau dia adalah seorang caleg yang tidak punya duit lalu melakukan penyamaran untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya nya money politic ??”.
“ah..sudahlah, itu tidak penting” .aku menepis pikiran anehku itu aku memikirkan kembali apa yang ia katakan terakhir tadi “jika mereka mempermainkan kita, itu tidak sepenuhnya salah mereka” , heemmm…ada benarnya juga.

“Masyarakat yang baik akan melahirkan kader yang baik, sehingga sekumpulan kader-kader yang baik ini akan menunjuk yang terbaik diatara mereka untuk memimpin .Dan masyarakat yang yang buruk akan melahirkan kader yang serba kekurangan, lalu mereka menunjuk pemimpin berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan”.

Dia benar, Sudah saatnya kita menentukan sikap, salah satunya dengan menolak money politik dan memberi ruang kepada mereka yang tak pernah berhenti memupuk, mengembangkan dimensi kualitatif kemanusiaannya, berkarya, memberikan mamfaat kepada masyarakat banyak, dan sadar akan fungsi utamanya sebagai khalifah.

PENULIS : MIFTAHUL AZIZI