26 Desember 2024
Opini

Darah di Peradilan Adat Meusapat, Kolonel Obos Scheepens Mati Diujung Rencong Teuku Bentara

OPINI - Kolonel Obos Scheepens adalah pejabat sipil Belanda di Sigli yang diangkat oleh Swart, Gubernur Jenderal Belanda di Banda Aceh. Pada Oktober 1913, terjadi insiden yang melibatkan putra Teuku Bentara, Ulee Balang Titeue, Pidie. Saat itu, putra Ulee Balang bersama beberapa rekannya berjalan-jalan di sebuah kampung. Karena merasa haus, ia meminta salah satu rekannya memanjat sebatang kelapa milik penduduk untuk memetik buah kelapa muda. Namun, pemilik pohon melarang karena tidak ada izin terlebih dahulu. Larangan tersebut memicu amarah putra Ulee Balang, yang menganggap bahwa sebagai penguasa adat, ia berhak memetik kelapa rakyatnya. Perselisihan berlanjut, dan pemilik pohon yang tidak gentar akhirnya melukai kepala putra Ulee Balang dengan parang.

Peristiwa itu memicu proses hukum. Pelaku dibawa ke Sigli untuk diadili di pengadilan adat "Meusapat." Pada hari persidangan, Teuku Bentara datang ke Sigli. Saat memasuki gedung pengadilan, seorang pengawal mengambil rencong berkepala emas yang dipakai Teuku Bentara. Sidang dipimpin oleh Kolonel Obos Scheepens, seorang perwira militer Belanda lulusan Akademi Militer Belanda di Breda, yang bertindak sebagai penguasa sipil sekaligus komandan Divisi. Ketegangan memuncak ketika salah seorang anggota sidang bertanya kepada penasihat agama Islam terkait hukuman yang layak dijatuhkan. Menurut adat Aceh, jawab penasihat itu, diat atau denda yang layak atas luka tersebut adalah tiga puluh ringgit.

Jawaban ini membuat Teuku Bentara marah besar. Ia memaki penasihat agama dengan menyebutnya "kafir" karena dianggap tidak memahami adat Aceh. Menurut Teuku Bentara, adat Aceh memberi hak kepada dirinya untuk membalas dendam, bahkan sampai memusnahkan keluarga pelaku. Namun, Kolonel Obos Scheepens memutuskan bahwa hukuman maksimal untuk penganiayaan ringan menurut hukum Belanda adalah tiga bulan penjara. Keputusan ini semakin membuat Teuku Bentara geram. Ia menuntut hukuman lebih berat, seperti pengasingan pelaku ke Jawa, agar kehormatannya sebagai penguasa adat tidak tercoreng di mata rakyatnya.

Ketika Meusapat mengetuk palu untuk mengesahkan keputusan hukuman tiga bulan penjara, Teuku Bentara tiba-tiba mencabut rencong yang disembunyikan di bajunya dan menikam perut Kolonel Obos Scheepens. Kolonel itu jatuh ke belakang, sementara seorang petugas keamanan Belanda dari Aceh segera mencabut kelewangnya dan melukai Teuku Bentara hingga tersungkur. Tak lama kemudian, Teuku Bentara meninggal dunia. Obos Scheepens, yang berhasil berdiri meski terluka, memerintahkan agar tidak melukai Ulee Balang itu lebih lanjut. Namun, perintah tersebut datang terlambat.

Kolonel Scheepens berjalan tertatih-tatih ke Rumah Sakit Militer di Benteng Sigli dengan luka di perutnya. Ia berkata, "Beberapa kali saya berhasil dengan baik, tetapi kali ini saya gagal." Gubernur Jenderal Swart segera diberitahu melalui telepon. Swart membawa dokter ahli bedah dari Banda Aceh menggunakan kereta api khusus yang berjalan cepat tanpa gerbong tambahan. Namun, usaha tersebut sia-sia karena Scheepens meninggal dunia setelah terlambat mendapatkan perawatan. Jenazahnya dibawa ke Banda Aceh dan dimakamkan di Kerkhof Peucut dengan upacara militer lengkap yang dipimpin langsung oleh Swart.

Dalam pidatonya di pemakaman, Gubernur Jenderal Swart mengungkapkan kesedihan mendalam dan mengaku tidak mampu mengendalikan emosinya. Kejadian ini mendapat perhatian khusus dari Ratu Juliana, yang mengecam keputusan Scheepens sebagai tidak bijaksana karena memalukan penguasa adat Aceh di hadapan rakyatnya. Tragedi ini menjadi salah satu contoh bagaimana benturan antara adat lokal dan hukum kolonial sering berujung pada konflik yang lebih besar, seperti yang juga terjadi dalam kasus Kohler di Masjid Raya Banda Aceh. Sejarah mencatat peristiwa ini sebagai salah satu momen penting dalam perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda.

Oleh : Teuku Iskandar, ZA (BIP Ie - Masen K. Adang, Banda Aceh)

Pustaka: Aceh, H.C. Zentgraaff (Terjemahan Aboe Bakar, 1983).