Berkhianat Atau Cerdik?
Oleh: Muhammad Afdhal S.Hum
OPINI - Dunia perpolitikan Indonesia belakangan ini semakin menarik untuk diikuti. Mendekati akhir tahun 2023 atmosfeer politik kian terasa panas, semakin banyak pergerakan yang menjadi kejutan dan menjadi bahan pembicaraan di khalayak masyarakat ramai. Dapat disimpulkan angka melek politik di Indonesia kian meningkat, ini terbukti dengan masivenya aktivitas pembahasan-pembahasan tentang isu dan pergerakan politik disemua lapisan masyarakat, baik itu di kalangan anak muda dan orang tua, di kalangan akademisi dan kalangan intelektual, maupun di kalangan masyarakat umum, hal ini tentunya tidak terlepas dari hampir tibanya pesta demokrasi rakyat yang akan dilaksanaakan pada tahun 2024 mendatang.
Beberapa hari ini salah satu pergerakan politik yang sedang hangat dibicarakan adalah satu pergerakan yang dilakukan oleh salah satu calon presiden dan partai pengusungnya dalam menentukan sikap mengambil keputusan untuk menetapkan calon wakil presiden, tidak bisa dipungkiri, dalam dunia politik bergabungnya partai-partai dengan visi yang sama atau bisa disebut dengan koalisi demi meningkatkan persentase kemenangan sering kali terjadi, koalisi ini biasanya akan diikat dengan janji-janji dan kontrak politik, seperti pembagian jabatan dan sebagainya. Tentu perjanjian dan kontrak yang disetujui akan menguntungkan semua pihak dalam koalisi, namun pergerakan yang diambil oleh salah satu calon presiden dan partai pengusungnya ini terkesan telah mengkhianati salah satu partai yang ikut serta di dalam koalisi tersebut.
Akibat dari pergerakan ini istilah “berkhianat atau mengkhianati” menjadi populer, namun apakah istilah “berkhianat atau mengkhianati” tepat untuk digunakan dalam dunia politik? Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah “berkhianat” artinya perbuatan tidak setia, tipu daya, dan perbuataan yang bertentangan dengan janji. Istilah ini kurang tepat untuk diadopsi ke dalam sebuah improvisasi pergerakan politik, bukankah politik itu sifatnya dinamis? Atau dapat berubah-ubah suatu waktu mengikuti dan sesuai dengan peluang atau kesempatan yang ada.?
Kesannya istilah “berkhianat atau mengkhianati” terlalu berlebihan, atau bahkan istilah ini terlalu “mulia” untuk diterapkan dalam dunia perpolitikan. Iya, itu benar adanya, dengan politik yang sifatnya dinamis “berkhianat atau mengkhianati” terasa kurang tepat untuk menggambarkan sebuah gerakan politik, misalnya suatu perjanjian politik atau kontrak politik disepakati dengan segala pertimbangan dan keuntungan untuk masing-masing kubu dalam sebuah koalisi, dan dengan persentase yang diyakini memiliki peluang besar untuk dapat memenangkan sebuah pertarungan politik. Namun seiring berjalannya waktu ketika terdapat peluang yang lebih besar maka persentase kemenangannya lebih menguntungkan, dan juga lebih menjanjikan, dengan segala pertimbangan yang ada tentu improvisasi pergerakan harus dilakukan.
Demi tercapainya sebuah kemenangan dalam dunia politik semua hal bisa terjadi, gerakan improvisasi yang tiba-tiba dilakukan oleh satu pihak dalam koalisi tentu memunculkan pihak yang mengklaim diri sebagai “korban” dan telah dikhianati karena gerakan yang dilakukan dirasa telah merugikan salah satu pihak tersebut.
Menghadapi hal tersebut seharusnya pihak yang mengklaim diri sebagai “korban” tidak perlu terlalu berlebihan dalam menanggapinya, atau istilah yang sedang populer sekarang “jangan baper”, karena dalam dunia politik sangat tidaklah tepat jika sebuah pergerakan improvisasi digambarkan dengan istilah “berkhianat” dalam dunia politik, pergerakan seperti ini adalah pola pikir yang objektif dan lihai dalam membaca situasi dan kesempatan yang ada. Maka istilah yang tepat untuk menggambarkan pergerakan ini adalah “cerdik” terlepas dari segala nilai etika dan moral yang berlaku, harusnya pihak yang merasa menjadi korban ini paham betul atas segala kemungkinan yang terjadi dan siap menanggung segala resiko yang ada ketika sudah terjun kedunia perpolitikan.
Kendati demikian pergerakan yang menjadi pembicaraan hangat belakangan ini sangat menarik untuk dibahas guna mengasah pola pikir dan membuat masyarakat akan lebih terbuka pandangannya terhadap segala isu-isu politik yang sedang bergulir, dan juga bisa lebih aktif menyuarakan pendapatnya atas isu-isu tersebut, tentu dengan pola pikir masyarakat yang lebih kritis akan banyak kemungkinan yang menjadi pertimbangan ketika menggunakan hak pilihnya kelak di pesta demokrasi rakyat di tahun 2024 mendatang, dan diharapkan akan membawa perubahan bagi Indonesia kedepannya.