09 Juni 2025
Opini

Sepiring Mi Goreng dan Segelas Kesadaran

Oleh: F. Razi

OPINI - Siang itu, di sudut sebuah ruangan kantor yang belum sepenuhnya nyaman, lelaki itu duduk sendiri di depan sepiring mi goreng yang mulai mendingin. Seragam dinas coklatnya sedikit kusut, entah karena angin kipas angin yang lelah berputar atau karena pikirannya yang sedang berlari jauh ke masa lalu.

Namanya tidak begitu dikenal di media. Ia bukan tokoh viral, apalagi pejabat tinggi. Tapi bagi dirinya sendiri, ia adalah seseorang yang sedang berjuang menjadi manusia yang lebih baik dari dirinya kemarin.

Ia menyendok mi perlahan. Di samping piringnya, sebuah HP jadul berwarna hitam, penanda bahwa ia lebih senang bertahan dalam kesederhanaan ketimbang mengejar gengsi. Di meja itu pula, segelas sirup merah dengan potongan nangka dan es batu mengambang pelan. Manis dan dingin, seperti kenangan masa lalu yang kadang tak ingin diingat, tapi selalu muncul tiba-tiba.

"Kadang kita sibuk mengejar sesuatu, tapi lupa siapa diri kita," bisiknya lirih, seolah berbicara dengan mi gorengnya.

Dulu, ia punya banyak mimpi. Ingin jadi dosen, penulis, pengubah sistem. Tapi hidup membawanya menjadi pegawai biasa di sebuah kabupaten yang tidak tercantum dalam peta wisata. Gaji cukup, kerja lumayan, tapi jiwa… seperti belum selesai bertanya.

Hingga suatu hari, di tengah rutinitas yang mematikan imajinasi, ia mendengar kalimat dari seorang tua yang tak sengaja ia temui di warkop pinggir jalan:

"Hidup ini bukan soal siapa yang dikenal orang, tapi soal siapa yang tetap baik meski tak ada yang melihat."

Kalimat itu mengguncang. Ia pulang ke rumah, membuka kembali catatan-catatan lamanya, menulis kembali impiannya yang sempat tertimbun nota dinas dan laporan mingguan. Ia menulis bukan untuk dibaca orang, tapi untuk menghidupkan dirinya sendiri.

Ia mulai sadar, bahwa mimpi tidak harus besar. Yang penting, mimpi itu membuat kita tetap menjadi manusia. Bahwa realita memang keras, tapi bukan berarti harus membunuh harapan. Dan kesadaran, adalah saat kita berhenti menyalahkan dunia, lalu mulai memperbaiki diri sekecil apa pun itu.

Hari itu, ia habiskan mi gorengnya sampai tandas. Ia tersenyum. Bukan karena mi-nya enak, tapi karena ia tahu: ia tak lagi makan sendirian. Ada semangat yang kembali mengisi piring hidupnya yang dulu hampir kosong.