Senioritas Toxic: Parasit yang Dirawat Oleh Organisasi Kemahasiswaan
Foto : Rohabdo M Pazlan | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh : Rohabdo M Pazlan
OPINI - Mahasiswa sebagai salah satu elemen emas bangsa memiliki peran sentris dalam upaya perwujudan tatanan peradaban yang ideal. Mereka yang memiliki kesempatan untuk merambah dunia pendidikan tinggi menerima stigma dan citra yang amat positif dari masyarakat luas, tentunya karena mereka dianggap telah matang secara kognitif dan intelektual. Dan hal tersebut sangat relevan sekali, hingga hari ini kita masih bisa menyaksikan betapa banyaknya kegiatan-kegiatan positif yang diinisiasi oleh civitas akademika sebagai implementasi nilai-nilai yang tertuang pada tri dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan , penelitian dan pengabdian masyarakat.
Budaya perguruan tinggi sangat kental dengan nilai-nilai keilmuan yang berbasis kepada riset dan bukti-bukti empiris. Tentu, budaya yang amat positif tersebut harus selalu kita jaga agar berorientasi kepada ihwal yang positif dalam upaya menciptakan kondisi sosial masyarakat yang sejahtera dan terhindar dari kekhawatiran sosial. Mahasiswa seharusnya merenungi peran dan fungsi mereka yang amat besar dalam upaya mewujudkan cita-cita besar bangsa yang tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Hari ini kita masih melihat idealisme dan cita-cita besar mahasiswa melalui aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan pada pelbagai organisasi kemahasiswaan. Organisasi kemahasiswaan merupakan wadah serta alat bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan kognitif, keterampilan, serta melatih kepkaan sosial dan tenggang rasa yang mereka miliki. Melalui organisasi kemahasiswaan ini lah kemudian mahasiswa dapat berekspresi pada ruang publik dan sosial untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat luas. Dengan idealisme yang dimiliki mahasiswa, suara serta aspirasi mereka acap menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat kita telisik dari histori pergerakan mahasiswa yang secara signifikan turut mewarnai dinamika kebangsaan pasca kemerdekaan hingga hari ini.
Mahasiswa harus menjaga budaya idealitas dan berani menjadi manusia yang merdeka sepenuhnya. Merdeka dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Organisasi kemahasiswaan yang merupakan wadah bagi para mahasiswa untuk mengaktualisasikan diri niscaya terbebas dari kepentingan yang berisiko merusak citra dan pergerakan mahasiswa. Sungguh miris sekali tatkala wadah yang menjadi tempat mahasiswa berekspresi secara bebas kemudian harus dibatasi oleh kepentingan dan kekangan oknum-oknum yang mewarisi nilai-nilai yang dibawa oleh bangsa penjajah.
Senioritas merupakan hal yang niscaya kita temui pada ragam institusi, tak terkecuali pada Perguruan Tinggi yang syarat kita temui pada organisasi kemahasiswaan. Pantang bagi kita menegasikan peran besar para senior ini. Sungguh mahasiswa membutuhkan senior-senior ulung yang telah melewati dan merasakan dinamika dunia kampus dan pergerakan mahasiswa terlebih dahulu. Kita membutuhkan senior sebagai tempat bertukar pikir, ide dan gagasan, juga kita dapat meminta arahan dan petunjuk untuk melanggengkan realisasi aktivitas-aktivitas kemahasiswaan yang akan kita lakukan. Namun sebagai mahasiswa, kita harus selektif dalam memilih dan menerima senior ini, karena tidak semua senior datang kepada kita dengan niat tulus untuk membantu. Kita menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang syarat akan kepentingan, demikian halnya dengan senior-senior yang datang dan memilih untuk membantu kita dalam melakukan aktivitas dan kegiatan kemahasiswaan.
Mahasiswa harus mulai mengerti bahwa senior-senior yang hadir dengan membawa kepentingan itu ibarat parasit yang siap menggerogoti sendi idealisme dan kemerdekaan mereka. Senior dengan prinsip “ke-aku-an” yang mereka miliki akan menjadi ancaman bagi mahasiswa dan lembaga-lembaga kemahasiswaan. Melaui tulisan ini penulis berasumsi bahwa tidak sedikit pergerakan organisasi kemahasiswaan yang acap bergerak dibawah kangkang kaki senior tidak beradab yang secara buas menginginkan kepentingan mereka akan segera terwujud. Mahasiswa organisatoris harus mulai menyadari hal ini, mahasiswa harus lebih selektif membukakan pintu masuk bagi para senior untuk masuk ke organisasi kemahasiswaan dengan tujuan agar senior yang nihil nilai tersebut dapat tersaring.
Menurut penulis, organisasi kemahasiswaan masih amat terbuka untuk menerima dan merawat senior yang terlalu meng-aku-kan diri. Senior-senior yang terlalu mengintervensi dan menjajah idealisme mahasiswa bak parasit yang siap menggerogoti ketulusan dan kemerdekaan pergerakan mahasiswa sehingga berubah kepada pergerakan yang syarat akan kepentingan, dan sayangnya organisasi kemahasiswaan masih menerima itu. Seperti halnya bangsa penjajah yang hadir dengan membawa janji-janji manis di awal yang kemudia berubah menjadi momok yang menakutkan bagi suatu bangsa, maka senior toxic ini juga hadir ke organisasi kemahasiswaan dengan janji dan retorika apik, lalu kemudian berubah menjadi kekangan dalam melakukan pergerakan.