Rentenir Cengkram Warga Panteraja, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas
Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Aroma busuk praktik ekonomi predator kembali menyeruak dari Gampong Tu, Kecamatan Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya. Sejumlah warga menjerit akibat ulah rentenir yang kian merajalela membungakan uang dengan suku bunga tak masuk akal, mencapai 50 persen per bulan. Ironisnya, mereka yang menjadi korban justru masyarakat kecil yang sedang terjepit kebutuhan mendadak. Dalam dunia keuangan, praktik semacam ini bukan lagi sekadar pelanggaran moral, melainkan eksploitasi ekonomi yang mengguncang sendi-sendi kesejahteraan sosial masyarakat desa.
Jeritan warga akhirnya sampai ke telinga Azhariadi, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial (Rehsos) Dinas Sosial P3A Pidie Jaya, Senin (27/10). Seorang ibu rumah tangga dengan suara bergetar mengadu, “Pak, kalau di gampong kami ada rentenir, gimana solusinya?” Ibu itu menuturkan bahwa pinjaman Rp1 juta dibungakan Rp500 ribu per bulan, membuat banyak warga tak sanggup melunasi utang. Meski perangkat gampong telah menegur si rentenir, hasilnya nihil. Rentenir tetap beraksi, seolah hukum dan etika ekonomi tak lagi punya daya.
Lebih tragis lagi, warga menyebut banyak kaum perempuan terjerat utang rentenir, hingga terpaksa meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil dan merantau ke Malaysia demi membayar bunga yang mencekik itu. Di titik ini, persoalan rentenir bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial dan moral. Fenomena itu menunjukkan bagaimana kemiskinan struktural dipelihara melalui mekanisme bunga tinggi yang menyalurkan kesengsaraan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya tampaknya mulai pasang badan. Baru-baru ini, Wakil Bupati Pidie Jaya menyatakan sikap tegas terhadap praktik rentenir yang beroperasi di wilayahnya. Dalam kegiatan peletakan batu pertama pembangunan Gerai Koperasi Merah Putih di Desa Tungkleut, Kecamatan Tringgadeng, Jumat (17/10), ia menegaskan bahwa “Rentenir adalah usaha haram yang menjerat leher masyarakat. Kami minta mereka angkat kaki dari daerah ini, apapun alasannya.”
Pernyataan itu menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah mulai sadar bahaya ekonomi gelap yang menindas rakyat kecil. Namun, jika tidak diikuti langkah hukum dan pengawasan lintas sektor, mulai dari Dinas Sosial, kepolisian, hingga perangkat desa maka seruan moral itu hanya akan berakhir sebagai retorika panggung. Diperlukan kebijakan konkret dan keberanian institusional untuk menutup celah-celah praktik rentenir di akar rumput.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah daerah. Masyarakat Gampong Tu berharap solusi nyata, bukan sekadar pidato seremonial. Di tengah maraknya jargon pemberdayaan ekonomi rakyat dan koperasi berbasis syariah, praktik rentenir dengan bunga lima kali lipat masih hidup subur. Jika negara kalah melawan lintah darat di tingkat desa, maka keadilan ekonomi hanyalah ilusi dalam laporan keuangan pemerintah daerah. (**)








