26 Desember 2025
Opini

Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus di SLB TNCC Banda Aceh

OPINI — Kunjungan ke SLB TNCC Banda Aceh menjadi bagian penting dari proses pembelajaran mata kuliah Psikologi Kebutuhan Khusus. Lebih dari sekadar kegiatan akademik, kunjungan ini membuka ruang perjumpaan langsung dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki ragam kondisi, mulai dari autism spectrum disorder, Down syndrome, disleksia, hingga kebutuhan khusus lainnya. Sebelum observasi dimulai, kami mendapat pengarahan dari pihak sekolah terkait kondisi umum peserta didik serta alur kegiatan yang akan diikuti, agar interaksi berlangsung dengan tepat.

Dalam kegiatan observasi, kami berperan mendampingi adik-adik yang sedang menjalani ujian. Tugas kami bukan memberi jawaban, melainkan membantu menjelaskan instruksi dan mengarahkan pemahaman soal. Beberapa anak mengalami kesulitan dalam memahami bahasa maupun konsep secara mandiri, sehingga pendampingan menjadi jembatan penting agar mereka dapat mengekspresikan kemampuan terbaiknya.

Secara personal, pengalaman ini memunculkan perasaan yang kompleks. Ada kehangatan dan antusiasme, tetapi juga getaran emosional yang kuat. Hal tersebut tak lepas dari latar belakang pribadi saya yang memiliki adik kandung dengan autisme ringan. Berinteraksi dengan anak-anak di SLB TNCC menghadirkan rasa haru, sedih, sekaligus bangga, sebuah kedekatan emosional yang tumbuh meski baru pertama kali bertemu.

Namun, pengalaman ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Selama ini saya lebih terbiasa memahami kebutuhan adik saya secara personal. Ketika berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakter dan kebutuhan berbeda-beda, saya sempat merasa kebingungan dalam menyesuaikan sikap dan pendekatan. Di titik inilah saya menyadari bahwa empati bukan hanya soal niat baik, tetapi juga kemampuan belajar dan beradaptasi.

Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat saya mendampingi seorang anak dengan Down syndrome bernama Jibril, berusia sekitar 13 tahun. Atas arahan pengasuh sekolah, saya menemani Jibril ke kamar kecil. Ia menunjukkan kelekatan yang cepat dan mengekspresikan rasa nyaman melalui sentuhan fisik. Pengalaman ini mengajarkan bahwa setiap anak memiliki cara unik dalam menunjukkan rasa aman dan kedekatan, sesuatu yang perlu dipahami dengan empati, bukan dengan prasangka.

Interaksi tersebut memperkaya cara pandang saya terhadap anak berkebutuhan khusus. Saya semakin menyadari bahwa di balik keterbatasan tertentu, mereka menyimpan keunikan, ketulusan, dan kemampuan membangun relasi yang hangat. Pertanyaan lama yang dulu sempat muncul, mengapa adik saya harus menjadi anak berkebutuhan khusus, perlahan tergantikan oleh pemahaman bahwa mereka adalah individu-individu hebat dengan caranya masing-masing.

Pengalaman ini juga membantah bayangan saya sebelumnya bahwa anak-anak berkebutuhan khusus akan selalu sulit menerima orang baru atau cenderung menunjukkan perilaku tantrum. Kenyataannya, setiap anak memiliki karakter berbeda, dan banyak di antara mereka justru ramah, terbuka, serta menyenangkan dalam berinteraksi.

Dari kunjungan ini, saya membawa pulang rasa hangat dan syukur yang mendalam karena telah memilih bidang psikologi. Pengalaman ini meneguhkan kesadaran saya untuk lebih peka terhadap luka dan perjuangan orang lain, sebuah empati yang berakar dari pengalaman pribadi, namun tumbuh melalui pembelajaran ilmiah dan perjumpaan nyata.

Lebih jauh, kunjungan ke SLB TNCC membentuk pandangan baru tentang peran dan tanggung jawab di masa depan. Saya semakin meyakini bahwa apabila suatu hari saya ditakdirkan menjadi ibu, atau kembali berhadapan langsung dengan anak berkebutuhan khusus, hal tersebut bukanlah musibah semata, melainkan amanah dan kehormatan. Sebuah peran yang menuntut ketulusan, kesabaran, dan kekuatan, seraya membentuk pribadi yang lebih empatik dan manusiawi.

Oleh: Najwa Rifa Amanda
Mahasiswa Semester VII, Psikologi UIN Ar-Raniry - Banda Aceh