03 September 2025
Opini

Mata Hu Su Meutaga, Suara Kritis yang Terkubur di Negeri Japakeh

Foto : Dok. Google Images | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDSejarah mencatat, Teungku Jalaluddin dari Faqih atau lebih dikenal sebagai Teungku Japakeh, beliau seorang ulama besar dan pernah menjadi penasehat militer Sulthan Iskandar Muda. Dari Meureudu, tanah yang kini dilakap sebagai pusat Kabupaten Pidie Jaya, lahirlah generasi pemberani dengan suara lantang, mata terbelalak, dan jiwa yang tak gentar melawan penindasan, "Mata Hu Su Meutaga."

Namun, warisan itu kini seakan terkubur. Semangat kritis dan keberanian yang dulu jadi penopang marwah daerah perlahan menguap, tergantikan ketakutan dan sikap pura-pura. Negeri Japakeh yang dahulu dikenal sebagai tempat lahirnya suara lantang, kini berubah jadi panggung bisu.

Banyak aktivis muda memilih diam. Mereka khawatir, jika terlalu vokal dan kritis, orang tuanya yang ASN bisa terkena getah, takut dimutasi ke daerah terpencil, disisihkan, atau disulitkan kenaikan pangkat atau jabatan. Suara kritis teredam bukan oleh argumen, melainkan oleh ancaman halus yang membungkus birokrasi.

Ada pula yang dibungkam dengan cara lain. Keluarga yang dekat lingkaran kekuasaan merasa tak nyaman bila anaknya bersuara. Diam menjadi strategi bertahan hidup. Keberanian untuk berkata benar ditukar dengan kenyamanan yang rapuh.

Kini, kritik diperlakukan layaknya dosa. Pemuda memilih menutup mulut karena berbicara bisa berarti kehilangan proyek kecil, beasiswa, atau sekadar akses ke lingkaran kekuasaan. Ketakutan kolektif membuat mereka kehilangan energi untuk menegakkan kebenaran.

Wakil rakyat pun tak lebih berani. Alih-alih menyuarakan kepentingan petani dan nelayan, mereka sibuk berburu perjalanan dinas ke luar kota, rapat dikantor, dan selfie di ruang sidang. Suara rakyat kalah nyaring dibanding dentuman sound system proyek peresmian.

Disisi lain, ASN di lingkaran pemerintahan berjalan seperti aktor teater bisu. Mereka tahu kebijakan menyimpang, melihat data dipoles, menyaksikan dana tak tepat sasaran, tetapi pura-pura tak melihat, tak mendengar, dan tak bersuara. Nurani mereka seolah digadaikan untuk keamanan kursi dan tunjangan.

Gedung pemerintahan memang megah, kursi kekuasaan penuh terisi, namun isi hatinya kosong. “Mata Hu Su Meutaga” yang dahulu menjadi simbol keberanian kini tinggal jargon dalam buku sejarah. Semua tahu kebenaran, tetapi memilih berdiam diri.

Ironisnya, kritik dianggap penyakit, bukan obat. Padahal tanpa kritik, kekuasaan akan terlena dalam pujian, sementara kebijakan membusuk dalam kesalahan. Negeri Japakeh kehilangan suara kritis yang seharusnya jadi fondasi pemerintahan sehat.

Di warung kopi, suara kritis masih sesekali terdengar, meski lirih. Namun suara itu cepat tenggelam, kalah oleh riuh obrolan politik transaksional. Generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris keberanian, justru sibuk dengan layar gawai, mencari hiburan ketimbang perlawanan.

Negeri yang dulu gagah menantang penjajahan, kini tak berdaya menghadapi kebijakan yang salah arah. Seperti kapal tanpa nakhoda, Pidie Jaya melaju dengan mesin birokrasi yang bising, tapi tanpa arah jelas.

Budaya diam terus mengakar. Mereka yang semestinya bersuara memilih jalan aman. Akibatnya, keberanian para pendahulu hanya tinggal legenda, diceritakan di forum-forum sejarah tanpa makna nyata dalam kehidupan hari ini.

Sementara suara wakil rakyat “nyaris tak terdengar,” mirip iklan mobil Isuzu Panther, ada, tapi samar, seolah hilang ditelan sunyi. Sebuah sindiran pahit bahwa representasi rakyat kini hanya simbol, tanpa fungsi.

Jika diam terus jadi budaya, Negeri Japakeh bukan hanya kehilangan suara kritis, tetapi juga kehilangan jati diri. “Mata Hu Su Meutaga” akan benar-benar terkubur, bukan karena perang, melainkan karena ketakutan kolektif yang diwariskan.

Seharusnya semboyan “Mata Hu Su Meutaga” tidak sekadar jadi cerita di ruang kelas sejarah atau quotes manis di baliho hari jadi kabupaten. Ia perlu dihidupkan kembali sebagai sikap kolektif rakyat yang berani bicara jujur, meski getir. Karena negeri tidak akan rusak oleh kritik, melainkan oleh diam yang panjang.

Maka, jika wakil rakyat memilih bisu, biarlah suara kritis lahir dari warung kopi, dari sawah, dari pasar, bahkan dari mulut nelayan yang jaringnya bolong. Setidaknya, suara rakyat itu bisa jadi “cermin retak” yang membuat penguasa tak terlalu nyaman bercermin pada pujian palsu. Kalau suara kritis benar-benar punah, Negeri Japakeh akan kehilangan jati diri, meskipun memiliki gedung perkantoran yang megah, pejabat duduk berderet di rapat-rapat formal penuh jargon, tapi tak ada lagi ruh kepemimpinan, hanya hening panjang yang menunggu saat robohnya tembok legitimasi. (TS)