Dibalik Nama Gampong Meuko Kuthang, Mencari Identitas yang Hilang
Oleh : Bustami M. Yunus
OPINI - Keterbatasan informasi mengenai Gampong Meuko Kuthang di Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, telah menjadi sebuah hambatan dalam memperoleh data yang tepat mengenai gampong tersebut. Bagi sebagian orang, menyebutkan asal dari desa ini bisa menjadi sumber tawa atau senyum. Saya sendiri mengalami momen tersebut saat menempuh pendidikan di Banda Aceh. Teman-teman kadang memberikan respon dengan candaan yang menyindir, mungkin dengan tujuan menghibur sambil tertawa bersama, namun terkadang terasa sedikit tidak nyaman. Pengalaman serupa terjadi saat nama desa kelahiran saya diucapkan saat acara wisuda di Gedung Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala tahun 2011. Reaksi para undangan, yang terdiri dari tawa dan senyum, menggambarkan betapa nama "Kuthang" bisa tertafsirkan secara salah dan menimbulkan asosiasi yang berbeda.
Dalam situasi ini, perbedaan pengucapan dan definisi antara "Meuko Kuthang" dan "Kutang" menjadi jelas. Saya sering kali menemukan diri saya dalam posisi di mana saya harus memberikan klarifikasi bahwa jangan sampai terjadi penafsiran yang keliru. Desa saya adalah Meuko Kuthang, dan "Kuthang" merujuk pada sejenis pohon endemic kala itu, bukan baju mini perempuan seperti yang diartikan dalam "Kutang". Sementara mungkin teman-teman sudah terlanjur terhibur dengan nama desa Meuko Kuthang, sehingga saya kadang harus memberikan jawaban dengan penuh diplomasi.
Minimnya referensi tentang Gampong Meuko Kuthang mengakibatkan kebingungan dan candaan, namun hal ini juga menjadi bagian dari identitas desa ini. Meskipun mungkin terdapat tantangan dalam memahami asal muasal dan makna dari nama tersebut, keunikan dan keindahan dari Gampong Meuko Kuthang tetap memancar melalui setiap cerita yang terkait dengannya. Nama desa ini tidak hanya sekadar penanda lokasi, tetapi juga jendela menuju kaya akan sejarah dan kebudayaan yang menghiasi Aceh.
Penulis menyadari keterbatasan informasi mengenai Desa Meuko Kuthang, tanah kelahirannya. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan mengenai akar nama Meuko Kuthang, yang menjadi salah satu desa di kecamatan Bandar Dua, kabupaten Pidie Jaya. Keterbatasan referensi tentang sejarah desa ini memotivasi penulis untuk menggali asal muasalnya dengan teliti. Dalam upaya untuk melengkapi narasi tentang kampung halamannya, penulis membahas bagaimana nama tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini menjadi penting karena tidak hanya mencerminkan identitas desa, tetapi juga menawarkan jendela berharga ke dalam sejarah yang kaya dan beraneka ragam. Dengan memahami dan menghormati nilai-nilai sejarah yang terkandung dalam nama Meuko Kuthang, penulis berharap dapat menyumbangkan pengetahuan yang lebih mendalam tentang asal muasal desa ini kepada masyarakat luas.
Penulis menyadari tantangan yang dihadapi dalam mencari informasi mengenai Desa Meuko Kuthang, tempat kelahirannya, karena minimnya referensi yang tersedia. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk menyelidiki akar dan asal-usul nama Meuko Kuthang, salah satu gampong di Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya melalui tradisi lisan.
Tidak terdapat satu pun tulisan yang mengungkapkan asal muasal atau sejarah dari gampong Meuko Kuthang. Semua informasi yang ada berasal dari tradisi lisan yang menyebutkan bahwa nama Meuko Kuthang merujuk pada “pohon kuthang”. Pohon ini dulu tersebar luas di desa Meuko Kuthang. Pada saat desa-desa mulai bermunculan, penguasa atau Hulubalang negeri merasa perlu memberikan nama resmi bagi desa demi menjaga tata administrasi dan mempermudah pengendalian daerah tersebut.
Meuko Kuthang, berakar dari istilah "Meukoh", menggambarkan sebuah perjalanan yang tak terencana, seperti ketika kita menelusuri tempat tanpa tujuan pasti, melintasi lorong, sungai, atau menyeberangi jembatan hanya karena ketertarikan pada suatu daerah. Konsep “Meukoh” menggambarkan keadaan tanpa arah yang jelas saat menentukan pilihan arah jalan, mirip dengan saat seorang raja kala itu menghadapi ketidaktentuan hendak menuju kemana. Ketika raja hendak memberi nama pada suatu tempat, secara tidak sengaja ia menjelajahi daerah yang belum tersematkan identitasnya. Begitu raja memasuki Gampong yang dipenuhi pohon Kuthang, Sejenis Pohon yang pada musim tertentu berbunga putih dan wangi, timbullah nama Meukoh Kuthang. Berlanjut ke arah utara, raja menamai suatu daerah Meukoh Baroh, mencerminkan langkahnya menuju Utara. Kemudian, raja kembali ke Meukoh Kuthang dan bergerak ke selatan Meukoh Kuthang, di mana ia menemukan dayah (pesantren) dengan penduduk yang tekun mengaji, dan desa itu pun diberi nama Meukoh Dayah. Perjalanan berlanjut ke arah menuju Meukoh Buloh, di mana bambu kuning (Trieng Buloh) mendominasi, menginspirasi pemberian nama pada desa tersebut sebagai Meukoh Buloh.
Dalam cerita ini, nama-nama tempat mengalir alami dari langkah-langkah tak terduga raja dan para Hulubalang kala itu, mencerminkan keindahan, kebetulan dan hal hal spesifik dalam menentukan identitas sebuah daerah kala itu. Meuko Kuthang tidak hanya sebuah nama, tapi juga kisah tentang pengembaraan tak terencana yang melahirkan warisan nama desa yang unik di Aceh.
Mungkin, transisi dari "Meukoh" ke "Meuko" bisa dipandang sebagai hasil akulturasi bahasa yang bertujuan memfasilitasi pengucapan yang lebih lancar. Seperti halnya berbagai nama daerah atau desa lainnya, evolusi nama seringkali terjadi seiring dengan kemajuan zaman. Namun, patut diingat bahwa saat ini, desa yang terhormat disebut dengan nama resmi "Gampong Meuko Kuthang." Keberadaannya menandai sebuah bagian berharga dari sejarah dan budaya, mengajarkan kita akan pentingnya memahami perubahan bahasa yang mendasari identitas suatu tempat dan memungkinkan kita untuk menghargai perjalanan yang telah dilaluinya.
Penelusuran sejarah Gampong Meuko Kuthang membawa penulis pada warisan lisan lainnya. Menurut cerita penuturan orang tua gampong yang tidak mau disebutkan namanya, desa ini pertama kali dihuni oleh para keturunan Bekas Tentara Teuku Japakeh. Namun, penuturan ini disampaikan dengan hati-hati, seolah ada ketakutan untuk mengungkapkannya sepenuhnya karena tidak bisa membuktikan dengan fakta yang terukur, Informasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa keturunan dari Tentara Teuku Japakeh kemudian terpaksa meninggalkan Gampong Meuko Kuthang karena konflik dengan Belanda. Strategi perang bumi hangus yang digunakan Belanda kala itu, yaitu membakar habis rumah-rumah penduduk, menyebabkan para penduduk mengunsi ke daerah lain dan desa ini kosong tanpa penghuni selama beberapa generasi. Hal ini menciptakan periode kelam dalam sejarah desa ini. Penelusuran ini menunjukkan betapa pentingnya melestarikan dan menceritakan kembali kisah-kisah masa lalu, bahkan ketika ingatan lisan menjadi satu-satunya sumber yang dapat diandalkan.
Menurut sumber lainnya tentang informasi tentang teungku japakeh pulang ke Negeri Meureudu setelah perang di semenanjung malaya, Tengku Japakeh Pulang kembali ke Negeri Meureudu bersama para pengikutnya, memutuskan untuk tidak kembali ke Raweu. Beliau menetap di Gampong Dayah Kruet sampai akhir hayatnya, yang kini termasuk dalam kecamatan Meurah Dua, kabupaten Pidie Jaya. Tampaknya, keputusan serupa juga diambil oleh para tentara dan pengikutnya setelah pulang dari medan perang. Mereka diberi izin untuk menempati daerah tertentu, di mana mereka dapat bercocok tanam dan berladang sesuai dengan izin yang diberikan oleh raja. Dan Tanah yang di berikan itu adalah Kawasan desa meuko kuthang saat ini.
Keputusan untuk menetap di Gampong Dayah Kruet mencerminkan perubahan signifikan dalam kehidupan Tengku Japakeh. Beliau memilih untuk membangun masa depan mereka di daerah baru ini, memanfaatkan kesempatan untuk menciptakan kehidupan yang stabil dan produktif. Langkah ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana izin raja dapat menjadi pendorong utama dalam penentuan nasib suatu kelompok, memungkinkan mereka untuk mengelola dan menghuni tanah yang sebelumnya mungkin tidak terjangkau.
Dengan demikian, keputusan Tengku Japakeh dan para pengikutnya untuk menetap di Gampong Dayah Kruet dan menempati tempat tempat baru yang diikuti oleh para pengikutnya setelah pulang dari peperangan memunculkan narasi baru tentang adaptasi dan transformasi di tengah perubahan zaman dan medan peperangan pasca perang besar di semenajung malaya. Keberanian mereka dalam memilih jalan yang belum terjamah menunjukkan semangat pionir yang membangkitkan semangat hidup baru di daerah baru.
Dalam hati penulis, muncul pertanyaan tentang sebuah situs kuburan dari masa lalu yang telah kehilangan jejak pemilik dan keturunannya. Lokasinya sekarang telah berubah menjadi jalan di antara Banda Aceh dan Medan, tempat di mana pertokoan-pertokoan telah berdiri. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa tempat ini dulunya merupakan tanah kuburan umum yang ditinggalkan, tak memiliki yang memiliki, dan akhirnya menjadi milik desa. Diceritakan bahwa pada masa lalu, banyak kuburan yang dibiarkan terlantar, Bagi penulis dan menurut kultur Aceh, kuburan adalah tempat suci dalam tradisi masyarakat Aceh, selalu dijaga dengan penuh rasa hormat oleh generasi-generasi berikutnya. Di hari raya Idul Fitri, mereka akan mendatangi dan membersihkan kuburan tersebut, selama keturunan masih ada. Namun, keberadaan kawasan kuburan yang luas ini telah terlupakan, tak ada yang tahu siapa yang dimakamkan di sana, atau siapa yang seharusnya merawatnya. Apakah mungkin, kehilangan pemilik dan leluhur yang terkubur di tanah tak berpemilik ini terkait dengan strategi perang bumi hangus yang diterapkan oleh Belanda, memaksa penduduk Gampong Meuko Kuthang pada periode awal Keturunan Tentara Tengku Japakeh itu untuk mengungsi ke daerah lain, tanpa ada yang kembali? Mungkin, misteri ini akan tetap menghiasi sejarah yang terlupakan, hingga waktu memilih untuk mengungkapkannya.
Di Gampong Meuko Kuthang, Dilokasi terpisah, penulis menemukan sebuah makam kuno yang terlantar. Dari penampilannya, makam tersebut tampaknya milik seorang bangsawan pada zaman dahulu. Letak makam ini bersebelahan dengan rumah almarhum Keuchik Usman. Menurut informasi dari istri almarhum Keuchik Usman, makam ini diduga milik seorang Sayed, meskipun dia tidak mengetahui garis keturunannya. Ia mendapat cerita ini dari nenek-neneknya yang telah lama berlalu. Meskipun belum ada kepastian mengenai identitas Sayed tersebut, makam ini tetap menjadi bagian sejarah yang berharga di Gampong Meuko Kuthang, mengingatkan kita akan kejayaan masa lalu yang tak boleh terlupakan.
***
Epilog :
Dalam keheningan sejarah yang tersembunyi di Gampong Meuko Kuthang, terdapat kisah-kisah yang membangkitkan semangat dan keberanian dari para leluhur. Meskipun banyak informasi yang hilang dan terabaikan, penulis telah menggali setiap sudut yang dapat dijangkau untuk membawa cahaya kepada masa lalu yang terlupakan. Kisah tentang Tengku Japakeh dan para pengikutnya menggambarkan perubahan tak terduga yang membawa mereka ke arah baru, menciptakan kehidupan yang baru di tanah yang mereka pilih.
Namun, ada juga kehilangan yang tak terbendung, seperti kuburan yang telah kehilangan jejak pemilik dan keturunannya. Di balik misteri ini, terdapat harapan bahwa suatu saat nanti, waktu akan memilih untuk mengungkapkannya dan mengembalikan kehormatan kepada para leluhur yang terkubur di tanah tak berpemilik.
Di situ di lokasi yang berbeda, ada Nisan Kuno yang terabaikan, di duga menyimpan kisah seorang bangsawan zaman dulu. Meskipun garis keturunan yang di duga Sayed ini hilang dalam kabut sejarah, namun kehadiran nisan ini adalah pengingat akan keagungan masa lalu yang tak boleh dilupakan.
Dalam penelusuran ini, Gampong Meuko Kuthang mengajarkan bahwa sejarah bukanlah hanya catatan, tetapi juga jendela ke dalam jiwa suatu tempat. Meskipun kabut telah menutupi beberapa bagian dari kisah ini, namun keindahan dan kekayaan sejarah dari gampong ini tetap bersinar melalui setiap jejak yang ditemukan. Itulah pesan yang ingin disampaikan penulis, bahwa meskipun terbatasnya informasi adalah tantangan, namun keunikan dan keindahan dari sebuah tempat akan selalu terpancar melalui cerita yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mari…