Sesudah Sorak Pilkada Reda, Loyalitas yang Menentukan
Penulis: Hanzirwansyah
(Sekretaris Umum Pemenangan Pasangan MANIS Pada Pilkada 2024)
OPINI - Kemenangan politik sering kali datang dengan riuh sorak, pelukan, dan janji manis yang berserakan di udara. Namun ketika musik berhenti dan spanduk mulai lusuh, tinggal kesunyian yang berbicara tentang siapa yang benar-benar berjuang karena cita-cita, dan siapa yang hanya datang untuk berpesta.
Pilkada memang ajang yang memacu adrenalin. Tapi di balik kemenangan, ada babak yang lebih sunyi dan menuntut: masa setelahnya. Di situlah kualitas tim pemenangan diuji, bukan pada seberapa keras mereka berteriak di masa kampanye, melainkan seberapa teguh mereka menjaga api perjuangan ketika panggung telah dibongkar.
Pendukung sejati tak berhenti setelah nama calon diumumkan sebagai pemenang. Justru di situlah kesetiaan diuji, karena kekuasaan selalu punya cara halus menguji kejujuran niat. Ada yang mulai berjarak, ada yang tergoda oleh urusan pribadi, ada pula yang tersesat dalam hitung-hitungan keuntungan. Padahal perjuangan sejati bukan tentang siapa yang mendapat posisi, melainkan siapa yang tetap menjaga arah perjuangan agar tak kehilangan makna.
Kemenangan politik adalah momentum. Tapi mempertahankan kepercayaan rakyat adalah perjalanan panjang yang butuh konsistensi, empati, dan pengorbanan tanpa tepuk tangan. Demokrasi tak tumbuh dari euforia, melainkan dari komitmen menjaga agar kekuasaan tak menjauh dari nurani rakyat.
Seperti kata penyair Rendra, “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti, tapi yang setia tetap berakar.” Kemenangan boleh diraih dalam hitungan bulan, tetapi menjaga maknanya bisa memakan seumur hidup.
Bagi tim pemenangan, loyalitas bukan berarti membenarkan semua langkah pemimpin. Justru disitulah letak kesetiaan sejati yakni berani mengingatkan ketika mulai menyimpang, dan tetap berdiri bersama ketika badai datang. Loyalitas yang cerdas bukan tunduk, tapi setia pada visi dan nilai yang diperjuangkan sejak awal.
Sejarah politik Indonesia mencatat banyak kemenangan yang berubah jadi luka karena kehilangan arah moral. Kekuasaan yang semula diperjuangkan atas nama rakyat akhirnya menjadi alat segelintir orang. Dan yang menyedihkan, kejatuhan itu sering kali berawal bukan dari lawan, melainkan dari barisan pendukung sendiri yang kehilangan kejujuran.
Para pendukung sejati semestinya menjadi cermin bagi pemimpin yang mereka bantu lahirkan. Cermin yang jernih, tak memantulkan pujian berlebihan, tapi menunjukkan kenyataan apa adanya. Sebab pemimpin tanpa kritik akan mudah tersesat di lorong kekuasaan. Dan pendukung tanpa integritas hanya akan memperpanjang daftar kecewa rakyat.
Di masa-masa setelah kemenangan, ada tugas yang jauh lebih berat dari memenangkan pilkada yakni menjaga agar kemenangan itu tetap suci dari titipan kepentingan. Politik, bila tak dijaga dengan moral, akan cepat berubah menjadi dagang kuasa.
Kini, setelah semuanya dimenangkan, pertanyaannya sederhana namun dalam apa yang akan kita jaga? Apakah kita masih memelihara semangat yang dulu membuat kita rela berpeluh di bawah terik, menempuh malam demi membangun kepercayaan rakyat? Ataukah kita mulai lupa, sibuk mengukur hasil dan posisi, seolah perjuangan adalah transaksi?
Menjadi tim pemenangan sejati berarti menjadi penjaga kompas moral. Kita bukan sekadar saksi sejarah kemenangan, tapi juga penjaga agar arah pemerintahan tetap sejalan dengan janji. Bila dulu kita bergerak karena keyakinan bahwa rakyat harus hidup lebih baik, maka setelah menang pun keyakinan itu harus tetap menyala, walau tanpa sorotan kamera, tanpa panggilan jabatan.
Kita harus belajar menjadi arus bawah yang tenang namun kuat, bukan ombak yang gaduh tapi cepat hilang.
Dalam banyak peradaban, para pejuang sejati justru dikenal bukan karena posisinya, tapi karena keteguhannya menjaga nilai ketika yang lain mulai berkompromi.
Demokrasi tak akan hidup tanpa partisipasi yang jujur. Dukungan tanpa pamrih adalah energi politik paling langka di zaman ini dan hanya mereka yang benar-benar berjiwa besar yang mampu menjaganya.
Kemenangan ini bukan milik segelintir orang di lingkaran kuasa, tapi milik seluruh rakyat yang berharap ada perubahan. Maka, menjaga kepercayaan itu adalah tugas bersama.
Sebagaimana api unggun yang menyala di malam gelap, kemenangan akan padam jika tak dijaga dengan kayu kesetiaan.
Solidaritas tim pemenangan tidak diukur dari seberapa sering kita berkumpul, tapi dari seberapa tulus kita tetap saling percaya. Jangan biarkan bisik-bisik kepentingan memecah keutuhan perjuangan. Karena musuh terbesar setelah kemenangan bukan lagi lawan politik, melainkan perpecahan di dalam tubuh sendiri.
Kita tidak sedang berjuang untuk orang per orang, tapi untuk cita-cita agar rakyat hidup lebih layak, agar janji kampanye tidak berakhir sebagai retorika. Itu sebabnya, kemenangan ini harus kita kawal dengan hati yang tetap bersih, sebagaimana dulu kita memulai langkah dengan keyakinan.
Suatu hari, waktu akan menyingkap siapa yang benar-benar berjuang, siapa yang sekadar menumpang nama. Dan ketika itu tiba, biarlah sejarah mencatat bahwa kita pernah berdiri di sisi yang benar, bukan karena ingin dihargai, tetapi karena kita percaya bahwa kemenangan tanpa kesetiaan hanyalah pesta yang cepat usai.
Maka, setelah sorak reda, marilah kita tetap berjalan bersama. Karena sesungguhnya, perjuangan belum selesai. Dan kemenangan sejati bukan diukur dari suara yang diperoleh,melainkan dari seberapa setia kita menjaga amanahnya.