Cahaya Kepemimpinan, Redupnya Pendopo dan Penerangan Jalan Layang
Foto : Miswar, SE, Warga Pidie Jaya, Aceh | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh: Miswar
Masyarakat Pidie Jaya
OPINI - Pidie Jaya kini berada di persimpangan cahaya. Di satu sisi, rakyat masih berharap pada sinar kepemimpinan yang mampu menuntun jalan pembangunan. Namun di sisi lain, kenyataan berbicara berbeda: cahaya itu mulai redup, sinarnya kian memudar di tengah kabut kepentingan. Di bawah Pemerintahan SABAR, matahari kepemimpinan seperti enggan terbit. Semangat pengabdian yang dulu dijanjikan kini tenggelam di balik dinding tebal kekuasaan yang lebih sibuk menjaga citra daripada menjaga nurani.
Simbol-simbol redupnya kepemimpinan itu kini nyata terlihat. Pendopo yang lampunya mati di malam hari bukan sekadar masalah teknis listrik, ia adalah metafora dari gelapnya arah pemerintahan. Begitu juga dengan jembatan layang yang seharusnya menjadi lambang kemajuan, kini hanya menjadi bayangan panjang tanpa penerangan. Dua titik cahaya yang padam itu menggambarkan sesuatu yang lebih dalam, padamnya semangat pelayanan publik, memudarnya kepekaan pemimpin terhadap tanda-tanda kecil di sekitar rakyatnya.
Di balik dinding pemerintahan yang dingin dan berlapis protokol, banyak keputusan lahir dalam ruang-ruang tertutup. Musyawarah dan transparansi tergantikan oleh bisikan kepentingan. Rakyat tidak lagi dilibatkan, hanya dijadikan penonton di kursi paling belakang dari sebuah panggung kekuasaan yang semakin elitis. Birokrasi yang seharusnya menjadi mesin pengabdian kini berubah menjadi alat kepatuhan. Siapa yang tunduk akan dipromosikan, siapa yang kritis akan disingkirkan perlahan. Loyalitas dijadikan mata uang, sementara integritas dianggap ancaman.
Pelayanan publik pun meredup bersama lampu-lampu kota. Proses administrasi yang semestinya cepat dan efisien kini berjalan lambat, seperti menunggu isyarat tak kasat mata. Surat rakyat bisa tertahan berminggu-minggu tanpa alasan. Di ruang kerja yang seharusnya menjadi tempat solusi, kini berdiam ketakutan dan kehati-hatian berlebihan. Dalam kegelapan seperti ini, aturan bisa dilipat, diubah, bahkan dihapus sesuai selera mereka yang sedang memegang saklar kekuasaan.
Pembangunan yang seharusnya menjadi bukti nyata keberpihakan pemerintah kini berjalan tanpa arah. Jalan diperbaiki bukan karena rusak, tetapi karena melintasi kawasan pendukung. Proyek dipilih bukan karena bermanfaat, tapi karena ada yang “berkepentingan.” Desa-desa di pelosok hanya mendengar kabar kemajua dari siaran pers media protokoler pemerintah. Mereka menyaksikan peresmian, bukan perubahan. Yang terasa di lapangan hanyalah debu janji yang tertiup angin.
Di sisi lain, pemerintah tampak sibuk memoles wajah di depan cermin keberhasilan. Laporan disusun indah, data dipoles rapi, dan angka-angka keberhasilan dicetak tebal untuk konsumsi publik. Namun rakyat tahu, kenyataan di lapangan tidak seindah itu. Slogan “melayani rakyat” kini hanya menjadi bahan sindiran di warung kopi. Dari kata yang dulu mengandung harapan, kini bergeser menjadi ejekan: “melayani yang dekat.”
Kegelapan Pidie Jaya tidak hanya di jalan-jalan dan pendopo, tetapi juga di hati mereka yang berkuasa. Pemimpin tampak nyaman di bawah cahaya kamera, tapi tidak sadar bahwa rakyat hidup dalam bayang-bayang gelap. Bahaya terbesar bukanlah ketika lampu padam, tetapi ketika seseorang terbiasa hidup tanpa cahaya. Dalam diam, sistem mulai terbiasa bekerja tanpa arah, dan keadilan perlahan menjadi komoditas yang dijual atas nama loyalitas.
Namun sejarah selalu memberi ruang bagi cahaya untuk lahir kembali. Dalam setiap pekat malam, selalu ada bara kecil yang menunggu untuk menyala dari suara rakyat yang berani bicara, dari pegawai yang menolak tunduk pada kebusukan, atau dari anak muda yang menolak menyerah pada kegelapan. Cahaya sejati tidak datang dari lentera kekuasaan, melainkan dari keberanian kecil yang menolak diam. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil mereka yang jujur.
Pidie Jaya masih memiliki peluang untuk bangkit, jika ada keberanian untuk menyalakan kembali lentera nurani. Pemerintah tidak perlu menunggu kritik menjadi badai, cukup buka mata pada tanda-tanda kecil: lampu yang padam di pendopo, jalan layang yang gelap, dan wajah rakyat yang murung. Semua itu adalah pesan diam tentang betapa hausnya mereka akan kepemimpinan yang benar-benar menerangi, bukan sekadar memerintah dari atas singgasana yang sepi.
Sebab pada akhirnya, kepemimpinan adalah tentang cahaya. Ia bukan sekadar lampu di ruang rapat atau sorotan kamera di acara seremonial. Ia adalah sinar yang menuntun, yang memanaskan hati rakyat, dan yang menyinari arah masa depan. Jika Pemerintah SABAR masih memiliki nurani, inilah saatnya menyalakan kembali cahaya kepemimpinan, sebelum gelap pendopo dan jalan layang menjadi lambang abadi dari redupnya harapan Pidie Jaya.