Reses Penuh Basa-Basi, Aspirasi yang Mati di Meja Pokir
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Setiap tahun, reses kembali digelar bak pertunjukan yang sudah terjadwal. Anggota dewan turun ke dapil, membawa buku catatan, menggelar tikar di balai desa, lalu mendengar "aspirasi rakyat". Tapi setelah itu? Seperti biasa, rakyat kembali ke kebun, ke warung kopi, ke sawah, sementara "aspirasi" mereka tak pernah tahu ke mana perginya.
Reses seharusnya menjadi momen sakral, ketika suara rakyat dihimpun untuk dibawa ke meja anggaran. Tapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Banyak laporan reses yang hanya sekadar formalitas. Daftar hadir dicetak, foto diambil, lalu ditutup dengan makan siang seadanya. Yang penting dokumentasi lengkap, bukan substansi.
Lalu tibalah masa pokok-pokok pikiran alias pokir. Di sinilah panggung sandiwara berubah menjadi ajang rebutan. Tiba-tiba muncul proyek-proyek "aspiratif" yang tidak pernah disebutkan dalam forum reses manapun. Jalan beton ke lahan kosong, gapura mewah di gang sempit, hingga pengadaan benur dan ternak untuk kelompok "bayangan".
Yang paling menyakitkan, pengakuan seorang mantan anggota dewan kepada penulis, “Saya hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk menulis dan mengusulkan dana aspirasi.” Sepuluh menit! Jauh lebih singkat dari waktu rakyat mengantre mengeluhkan jalan rusak, pupuk langka, dan bantuan UMKM yang tak kunjung datang.
Kita jadi bertanya, siapa sebenarnya yang bersuara dalam pokir itu? Apakah benar itu suara rakyat? Ataukah itu suara kolega politik, kontraktor binaan, atau simpatisan yang butuh “balas budi” setelah pemilu?
Dalam sistem yang seharusnya berbasis partisipasi, kenyataannya dewan terlalu sering memonopoli suara. Mereka menciptakan ilusi partisipasi melalui reses, padahal keputusan sesungguhnya sudah dibuat di ruang-ruang tertutup. Rakyat hanya jadi figuran.
Lebih celaka lagi, tak ada mekanisme publik yang mampu mengoreksi langsung isi pokir. Laporan hasil reses tidak dipublikasikan secara terbuka, dan pokir jarang sekali diperiksa kesesuaiannya. Yang penting proyek jalan, jembatan, dan "kegiatan sosial" jalan terus. Soal siapa yang butuh? Itu urusan nanti.
Di hadapan fakta ini, rakyat seolah dipaksa menerima bahwa demokrasi cukup sampai di bilik suara. Setelah itu, segalanya dikendalikan segelintir elit yang mengklaim sedang "mewakili". Padahal, yang mereka wakili kadang hanya kepentingan pribadi yang dibungkus kata-kata manis bernama aspirasi.
Jika reses adalah panggung, maka rakyat hanyalah penontonnya. Mereka boleh bicara, tapi tidak menentukan naskah. Pokir sudah ada yang atur, dan hanya mereka yang dekat yang bisa masuk daftar. Inilah realita aspirasi hari ini, dibungkam dengan cara paling halus dengan berpura-pura mendengar.
Reses dan aspirasi telah kehilangan maknanya. Ia bukan lagi alat demokrasi, melainkan selimut tebal yang menutupi transaksi anggaran. Jika rakyat terus diam, maka reses akan tetap jadi ritual tahunan tanpa makna. Dan aspirasi? Akan terus diperalat, bukan diperjuangkan. (TS)