Sawit dan Banjir di Aceh: Ketika Hutan Tumbang, Air Mengamuk
OPINI - Aceh kembali dilanda banjir, bahkan dalam intensitas yang lebih parah dan lebih sering dari sebelumnya. Hujan yang hanya berlangsung beberapa jam kini mampu menyebabkan luapan air sungai secara drastis, dengan warna merah/cokelat bata sebagai pertanda erosi tanah yang masif. Dalam berbagai analisis, faktor utama yang kerap disebut adalah tingginya curah hujan dan kondisi geografis Aceh. Namun, satu aspek yang sering diabaikan adalah bagaimana ekspansi perkebunan kelapa sawit telah mengubah lanskap hutan dan daerah resapan air secara drastis, mempercepat terjadinya banjir.
Deforestasi Akibat Sawit: Luka Menganga di Tanah Aceh
Perkebunan sawit di Aceh mengalami ekspansi besar-besaran dalam berapa dekade terakhir. Banyak kawasan hutan hujan tropis yang dulunya menjadi daerah tangkapan air kini telah berubah menjadi hamparan kelapa sawit. Dalam proses ini, hutan-hutan alami yang memiliki akar kuat untuk menyerap dan menahan air hujan telah digantikan oleh pohon-pohon sawit yang memiliki sistem perakaran lebih dangkal.
Perbedaan antara hutan alami dan perkebunan sawit dalam menangani air hujan sangat signifikan:
Hutan alami memiliki kanopi yang rapat, memperlambat jatuhnya air hujan ke tanah. Akar pohonnya yang dalam mampu menyerap air lebih banyak dan menahannya untuk dilepaskan perlahan ke sungai.
Perkebunan sawit, sebaliknya, memiliki kanopi yang lebih terbuka, menyebabkan air hujan langsung jatuh ke tanah dengan intensitas tinggi. Akar sawit yang dangkal juga tidak cukup kuat untuk menyerap dan menahan air secara optimal.
Ketika hujan turun deras, tanah yang sudah kehilangan vegetasi asli menjadi lebih rentan terhadap erosi. Endapan lumpur hasil erosi ini masuk ke sungai, mengurangi kapasitas aliran dan akhirnya menyebabkan banjir.
Dampak Perkebunan Sawit terhadap Hidrologi Aceh
1. Menurunnya Kapasitas Resapan Air
Konversi hutan menjadi perkebunan sawit telah merusak daerah resapan air. Air yang sebelumnya dapat diserap oleh akar pohon dan tanah, kini langsung mengalir ke sungai dalam volume besar, meningkatkan risiko banjir bandang.
2. Sedimentasi dan Pendangkalan Sungai
Tanah yang tidak lagi terlindungi oleh akar pohon mudah terkikis oleh hujan. Akibatnya, material tanah terbawa ke sungai, menyebabkan sedimentasi yang mempersempit aliran sungai dan meningkatkan risiko meluapnya air.
3. Hilangnya Penyangga Ekosistem
Hutan-hutan di sekitar sungai berfungsi sebagai penyangga ekosistem, membantu mengatur debit air dan mencegah banjir. Dengan hilangnya hutan akibat ekspansi sawit, keseimbangan ini rusak, mempercepat aliran air dan memperparah banjir.
4. Perubahan Iklim Mikro
Penggundulan hutan untuk sawit juga berdampak pada perubahan iklim lokal. Suhu meningkat karena hilangnya tutupan pohon, dan perubahan pola curah hujan terjadi karena berkurangnya kelembaban udara yang biasanya dihasilkan oleh hutan alami.
Benang Merah: Sawit, Banjir, dan Krisis Lingkungan di Aceh
Krisis banjir di Aceh bukan sekadar akibat dari hujan deras semata, melainkan merupakan akumulasi dari perubahan lanskap yang terjadi akibat eksploitasi lahan, terutama untuk perkebunan sawit. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebagai kejadian alam biasa, melainkan sebagai konsekuensi dari kebijakan dan aktivitas manusia yang mengabaikan keseimbangan ekosistem.
Di satu sisi, ekspansi perkebunan sawit telah menjadi sektor ekonomi yang menguntungkan bagi banyak pihak. Namun, di sisi lain, dampak ekologis yang ditimbulkannya jauh lebih besar dan berkelanjutan, terutama dalam memperparah banjir di Aceh.
Solusi: Mengembalikan Keseimbangan Lingkungan
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak:
Moratorium Perluasan Sawit: Pemerintah perlu membatasi pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit, terutama di kawasan hutan lindung dan daerah aliran sungai.
Restorasi Hutan dan Daerah Resapan Air: Program reforestasi harus segera dijalankan untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai penahan air alami.
Penerapan Agroforestri: Menggabungkan tanaman sawit dengan pohon lokal yang memiliki akar kuat dapat membantu mengurangi dampak buruk deforestasi.
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Aktivitas pembalakan liar dan pembukaan lahan secara ilegal harus ditindak tegas agar tidak semakin memperburuk kondisi lingkungan.
Edukasi Masyarakat dan Industri: Kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem hutan harus ditanamkan kepada masyarakat, terutama kepada para pelaku industri perkebunan.
Banjir yang semakin sering melanda Aceh bukan hanya karena faktor curah hujan, melainkan akibat perubahan besar dalam lanskap ekologis, khususnya oleh ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkontrol. Perubahan ini menyebabkan hilangnya daerah resapan air, meningkatnya erosi tanah, serta pendangkalan sungai yang mempercepat banjir.
Jika tidak ada langkah tegas untuk mengendalikan perluasan sawit dan merestorasi hutan yang telah rusak, banjir di Aceh akan semakin parah, merugikan masyarakat, dan merusak keseimbangan ekosistem yang telah ada selama ribuan tahun. Saatnya kita berhenti menyalahkan alam dan mulai menata ulang kebijakan lingkungan demi masa depan Aceh yang lebih aman dan berkelanjutan.
Penulis: Fakhrurrazi, M.Si - Master Ilmu Kebencanaan, Alumni MIK USK Banda Aceh