14 September 2025
Opini

Antara Angka Statistik dan Realitas Kemiskinan yang Membelenggu Pidie Jaya

OPINI - Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan 14 indikator untuk menilai kemiskinan. Dari luas lantai rumah hingga kepemilikan tabungan, indikator ini menjadi patokan nasional untuk menentukan siapa yang dikategorikan miskin. Namun, di Pidie Jaya, indikator tersebut tidak selalu sejalan dengan kenyataan sehari-hari. BPS bisa saja menyebut angka kemiskinan menurun, akan tetapi di lapangan masyarakat masih bergelut dengan daya beli rendah dan keterbatasan hidup.

Ambil contoh indikator BPS rumah berlantaikan tanah atau berdinding bambu. Banyak rumah di Pidie Jaya memang sudah permanen, bahkan sebagian diplester. Secara indikator, rumah tangga ini tidak tergolong miskin. Tetapi, apakah mereka sejahtera? Tidak juga. Penghasilan harian yang tidak menentu, harga kebutuhan pokok yang terus melambung, dan ketiadaan tabungan membuat mereka tetap hidup dalam kerentanan. Rumah permanen tidak otomatis berarti bebas dari kemiskinan.

Indikator lain adalah konsumsi daging, ayam, atau susu minimal sekali seminggu. Sebagian keluarga di Pidie Jaya memang masih bisa membeli daging atau ayam, apalagi saat ada hajatan atau panen. Namun, di hari-hari biasa, lauk sederhana dengan garam, sayur pucuk ubi, atau ikan asin sudah menjadi menu utama. Diatas kertas mungkin mereka “tidak miskin”, tetapi secara realitas, kualitas gizi dan pola makan jelas masih jauh dari standar layak.

Begitu juga soal kepemilikan aset. BPS mengukur dengan melihat tabungan minimal Rp500 ribu atau kepemilikan motor, emas, dan ternak. Banyak keluarga memang memiliki sepeda motor, tapi itu satu-satunya alat transportasi dan seringkali masih kredit. Saat krisis, motor dijual, lalu keluarga kembali tidak memiliki aset produktif. Jadi, kepemilikan motor di sini lebih sebagai “syarat bertahan hidup”, bukan indikator kemakmuran.

Indikator BPS juga menilai dari sumber air minum. Meskipun sebagian masyarakat sudah punya sumur atau akses pipa, kualitas airnya sering keruh, tidak terlindung, bahkan tidak layak konsumsi. Secara statistik, mereka tercatat memiliki akses air minum, tetapi kenyataannya mereka tetap berisiko kesehatan. Lagi-lagi, angka tidak mampu menangkap kualitas.

Pendidikan menjadi jurang paling nyata. Indikator BPS cukup berhenti di “tamat SD” atau “tidak tamat SD”. Padahal di Pidie Jaya, sejumlah kepala rumah tangga memang tamat SD, SMP dan SMA sehingga di data BPS mereka tidak masuk kategori miskin ekstrem. Tapi tamat SD jelas tidak cukup untuk meningkatkan taraf hidup di era sekarang. Realitasnya, pendidikan rendah tetap membuat mereka terjebak di pekerjaan kasar dengan penghasilan rendah.

Dalam hal kesehatan, BPS hanya melihat kemampuan berobat ke puskesmas atau rumah sakit umum. Di lapangan, meski ada JKA, biaya tambahan dan akses transportasi membuat masyarakat tetap kesulitan. Ada yang memilih menahan sakit karena ongkos ke rumah sakit lebih besar daripada penghasilan sehari. Artinya, meskipun indikator BPS tidak tercentang, masyarakat tetap menghadapi keterbatasan serius di sektor kesehatan.

Masyarakat Pidie Jaya merasakan langsung bahwa cukup makan bukan berarti sejahtera. Bisa membeli beras belum tentu bisa membayar uang sekolah anak. Bisa membangun rumah sederhana belum tentu bisa menyiapkan tabungan darurat. Indikator BPS hanya mengukur sebagian kecil wajah kemiskinan, sementara dimensi yang lebih luas seperti daya beli, kualitas hidup, rasa aman ekonomi tidak terhitung dalam statistik.

Di atas kertas, Pidie Jaya tercatat memiliki tingkat kemiskinan 18,28 persen pada 2024 dan menempati urutan ke-4 termiskin di Aceh. Namun, di lapangan, jumlah keluarga yang hidup pas-pasan jauh lebih banyak. Mereka mungkin tidak masuk kategori miskin versi BPS, tetapi tetap hidup dengan keterbatasan dan rentan jatuh miskin kapan saja.

Maka, menilai kemiskinan tidak bisa hanya dari indikator BPS. Angka statistik memang penting untuk kebijakan, tetapi realitas di lapangan harus menjadi rujukan utama. Pidie Jaya butuh strategi pengentasan kemiskinan yang melihat fakta nyata, rendahnya daya beli, mahalnya harga barang pokok, akses pendidikan dan kesehatan, serta rapuhnya ketahanan ekonomi keluarga. Tanpa itu, angka boleh turun, tapi penderitaan rakyat miskin  tetap sama. (TS)