Ambruknya Al Khozini, Runtuhnya Etika Konstruksi: Saat Takdir Dijadikan Tameng Kelalaian
Foto : Muhammad Ansar, ST | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh : Muhammad Anshar, ST
Pemerhati Konstruksi
OPINI - Ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khozini di Sidoarjo bukanlah sekadar musibah yang datang tanpa sebab. Ia adalah potret kelam dari kelalaian manusia yang dibungkus dengan dalih “takdir Tuhan”. Betapa mudahnya kita menafsirkan bencana sebagai kehendak ilahi, padahal di baliknya tersimpan rangkaian kesalahan teknis, pengawasan yang lemah, serta mentalitas abai terhadap standar keselamatan.
Dalam dunia konstruksi, tidak ada istilah “tiba-tiba ambruk” jika semua prosedur dijalankan sesuai aturan. Setiap besi, semen, dan bata memiliki rumus perhitungan yang presisi. Bila satu komponen dilemahkan demi efisiensi biaya atau kejar target waktu, maka fondasi bangunan sejatinya sedang digali untuk menuju kehancuran. Tragedi Al Khozini adalah cermin betapa jeleknya hasil kerja manusia yang menyepelekan ilmu dan tanggung jawab.
Kita perlu berhenti menormalisasi kelalaian sebagai takdir. Menyebutnya sebagai kehendak Tuhan hanya memperpanjang rantai pembiaran dan menghapus jejak tanggung jawab moral maupun hukum. Tuhan tidak menulis “rencana runtuh” di kitab takdir, tetapi memberikan manusia kemampuan berpikir, merancang, dan mengantisipasi. Ketika manusia abai, maka akibatnya bukan ujian, melainkan konsekuensi.
Kasus ambruknya pondok pesantren ini harus dibaca sebagai kegagalan sistemik: dari lemahnya perencanaan teknis, hingga pengawasan pemerintah yang tumpul. Seharusnya, setiap bangunan pendidikan terlebih pesantren dengan ratusan santri mendapat perhatian khusus dari dinas terkait. Bukan hanya izin berdiri, tetapi audit struktur yang menyeluruh. Tanpa itu, nyawa manusia akan selalu menjadi taruhan pembangunan murahan.
Pendidikan agama memang mengajarkan keikhlasan menerima takdir, namun keikhlasan bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan. Justru di sinilah letak ujian iman sejati, ketika mampu mengakui kelalaian, menegakkan keadilan, dan memperbaikinya agar tidak terulang. Tragedi Al Khozini seharusnya menjadi momen refleksi, bagaimana mungkin lembaga yang mengajarkan nilai-nilai moral justru roboh oleh amoralitas teknis?
Konstruksi bukan sekadar tumpukan beton dan besi. Ia adalah wujud tanggung jawab sosial. Setiap insinyur, kontraktor, dan pengawas proyek memegang amanah yang besar untuk menjaga keselamatan manusia. Ketika amanah itu dikhianati, maka yang runtuh bukan hanya bangunan, tetapi juga moralitas profesi. Di titik ini, menyebutnya sebagai “takdir” adalah bentuk pelarian dari kejujuran.
Sudah saatnya kita mengubah narasi publik. Media, akademisi, dan tokoh agama harus bersuara lantang bahwa bencana akibat kelalaian bukan bagian dari rencana Tuhan. Ia adalah dosa sosial yang menuntut pertanggungjawaban duniawi. Di negara yang menjunjung hukum, setiap kebohongan struktural seharusnya berujung pada sanksi yang setimpal, bukan sekadar permintaan maaf.
Pemerintah daerah dan pusat wajib belajar dari tragedi ini. Setiap proyek publik maupun swasta, apalagi yang berkaitan dengan fasilitas pendidikan, harus melalui pengawasan konstruksi berlapis. Jangan lagi ada proyek yang dikerjakan “asal jadi” dengan dalih efisiensi anggaran. Efisiensi tanpa etika hanya melahirkan kuburan massal baru.
Tragedi Al Khozini harus menjadi alarm moral. Ia bukan hanya soal tembok yang runtuh, tapi juga tentang mentalitas bangsa yang runtuh karena terbiasa menutupi kelalaian dengan doa. Padahal doa tanpa tanggung jawab hanyalah gema tanpa makna.
Kita boleh berduka, tetapi jangan berhenti di sana. Duka harus berubah menjadi kesadaran dan keberanian menuntut akuntabilitas. Agar setiap bangunan yang berdiri di atas tanah negeri ini tidak lagi menjadi monumen kelalaian, tetapi simbol kejujuran, ilmu, dan tanggung jawab. Karena sejatinya, Tuhan tidak pernah merobohkan bangunan yang dibangun dengan amanah. Manusia sendirilah yang melakukannya.