Refleksi 18 Tahun Kabupaten Pidie Jaya, Dari Retorika Menuju Realita
Oleh: Teuku Saifullah - Warga Pidie Jaya, Aceh
OPINI - Delapan belas tahun bukan waktu yang singkat, tetapi juga belum cukup panjang untuk sebuah daerah muda seperti Kabupaten Pidie Jaya menentukan arah pasti masa depannya. Sejak disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007, harapan besar digantungkan oleh masyarakat atas terbentuknya kabupaten ini, agar pelayanan publik lebih dekat, pembangunan lebih merata, dan kebijakan berpihak pada kebutuhan lokal. Namun realitas selama hampir dua dekade terakhir menunjukkan bahwa tidak semua harapan tersebut terjawab dengan utuh. Pidie Jaya hari ini masih berada di persimpangan antara potensi besar dan kenyataan sosial yang kompleks.
Perjalanan awal Pidie Jaya dibentuk oleh semangat desentralisasi dan keinginan masyarakat untuk merdeka dari bayang-bayang kabupaten induk. Namun pemekaran tidak serta-merta menghasilkan perubahan mendasar. Penjabat bupati pertama, Salman Ishak, hanya menjadi penghubung administratif. Perubahan nyata baru mulai dibangun oleh kepemimpinan M. Gade Salam dan M. Yusuf Ibrahim, kemudian dilanjutkan oleh Aiyub Abbas dan Said Mulyadi selama dua periode. Hari ini, kepemimpinan berada di tangan Sibral Malasyi dan Hasan Basri yang membawa semangat dan gaya baru. Namun tantangan lama tetap membayangi ketimpangan, stagnasi ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan pelayanan dasar.
Karakteristik masyarakat Pidie Jaya sangat khas dan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan publik. Masyarakatnya religius, sangat berpegang pada adat, dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Namun pada saat yang sama, masyarakat juga cenderung pasif secara politik dan terbiasa bersikap menerima terhadap kebijakan yang ada. Ini menciptakan celah antara pemerintah dan rakyat, di mana aspirasi sering tidak tersalurkan secara efektif. Kurangnya partisipasi kritis menyebabkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah lemah, dan elite politik pun merasa nyaman berada dalam zona aman kekuasaan.
Sektor pertanian dan perikanan masih menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Namun tidak banyak yang berubah dari segi pola produksi. Petani dan nelayan di Pidie Jaya bekerja keras, tetapi sebagian besar masih menggunakan cara-cara tradisional yang minim teknologi. Di sisi lain, perhatian pemerintah terhadap modernisasi pertanian dan pemberdayaan ekonomi lokal sering tidak berkelanjutan. Program-program bersifat seremonial, minim dampak jangka panjang, dan kerap tersendat karena rendahnya koordinasi lintas sektor. Ini membuat masyarakat terjebak dalam lingkaran subsistensi dan ketergantungan pada bantuan.
Padahal Pidie Jaya memiliki kekayaan alam yang cukup dan posisi strategis di pesisir timur Aceh. Namun potensi ini belum dimaksimalkan. Pariwisata pesisir belum tersentuh secara serius, kawasan tambak belum dikelola modern, dan sektor perdagangan masih bergantung pada pasar tradisional tanpa inovasi digital. Masyarakat muda yang memiliki semangat dan akses digital masih kesulitan menemukan dukungan sistemik untuk membangun usaha. Pemerintah Daerah seolah belum punya peta jalan pembangunan ekonomi yang konkret, selain rutinitas belanja anggaran tahunan.
Di sisi sosial, nilai-nilai budaya dan adat istiadat masih sangat kuat. Ini menjadi kekuatan sekaligus tantangan. Kuatnya struktur adat sering membuat masyarakat enggan menyuarakan ketidaksetujuan terhadap pemimpin yang tidak berpihak, karena dianggap sebagai bentuk ketidaksopanan. Ini membuat praktik oligarki lokal tetap subur. Musyawarah gampong masih hidup, tetapi sering dikendalikan oleh figur tertentu yang sudah berpengaruh sejak lama. Akibatnya, perubahan sosial berjalan lambat dan cenderung stagnan.
Sektor pendidikan juga tidak memberikan optimisme besar. Banyak sekolah di pedalaman yang minim fasilitas dan kekurangan tenaga pengajar berkualitas. Anak-anak muda yang berprestasi lebih memilih melanjutkan pendidikan di luar daerah dan jarang kembali. Brain drain ini memperparah minimnya SDM berkualitas yang bisa mendorong perubahan lokal. Dayah dan lembaga pendidikan Islam memang berkembang, tetapi masih belum terintegrasi dengan konsep pembangunan ekonomi dan teknologi. Keseimbangan antara agama dan kemajuan masih perlu dicari dan ditegaskan.
Agama tetap menjadi tiang utama kehidupan masyarakat Pidie Jaya. Masjid dan dayah tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat sosial dan pendidikan moral. Namun dalam praktiknya, nilai-nilai keislaman kadang dimanfaatkan sebagai alat justifikasi kekuasaan. Kritik terhadap kebijakan pemerintah bisa dilabel sebagai “tidak pantas”, meski substansinya sangat rasional. Relasi antara agama dan politik lokal masih menyimpan dinamika tersendiri, yang sayangnya belum cukup dikaji secara jujur dan kritis oleh kalangan akademik maupun media lokal.
Budaya patriarki masih dominan, dan partisipasi perempuan dalam ruang publik sangat terbatas. Padahal banyak perempuan Pidie Jaya yang aktif dalam komunitas sosial dan pendidikan. Pemerintah belum memberikan ruang afirmatif bagi perempuan untuk terlibat dalam perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan di tingkat daerah. Ini menjadi pekerjaan rumah besar di tengah semangat “maju dan meusyuhu” yang digaungkan.
Program pembangunan selama ini cenderung elitis dan top-down. Aspirasi masyarakat jarang dijadikan dasar dalam penyusunan anggaran. Proyek infrastruktur lebih sering diarahkan untuk kepentingan politis dan pencitraan. Jalan dibangun, tetapi kualitas rendah. Fasilitas publik diresmikan, tetapi tidak berfungsi maksimal. Evaluasi program pun tidak transparan. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik, meski secara formal pemerintah daerah terus menyampaikan laporan capaian.
Masyarakat Pidie Jaya sebenarnya tidak butuh kemewahan. Mereka hanya ingin keadilan yang merata yakni akses terhadap pendidikan yang baik, layanan kesehatan yang layak, jalan yang mulus ke gampong, dan kesempatan ekonomi yang fair. Tetapi selama ini mereka harus puas dengan janji-janji musiman yang datang lima tahun sekali, kemudian lenyap setelah pilkada usai.
Momentum usia 18 tahun seharusnya menjadi momen evaluasi menyeluruh. Apakah arah pembangunan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Apakah kehadiran negara benar-benar dirasakan hingga ke pelosok? Apakah semangat meusyuhu hanya jargon seremoni atau sudah menjadi landasan kebijakan? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban jujur, bukan sekadar laporan tahunan yang penuh pujian diri.
Media lokal dan elemen masyarakat sipil harus mengambil peran lebih aktif. Pidie Jaya butuh ruang kritik yang sehat dan terbuka. Tanpa tekanan publik yang kritis, pemerintah akan terus merasa nyaman dengan status quo. Demokrasi lokal harus dibangkitkan bukan hanya lewat pemilu dan pilkada, tetapi juga dalam ruang diskusi harian masyarakat. Kesadaran warga akan hak dan tanggung jawab mereka sebagai pemilik kedaulatan harus terus dibangun.
Pidie Jaya tidak kekurangan orang cerdas, tidak kekurangan sumber daya, dan tidak kekurangan budaya. Yang kurang adalah keberanian untuk melangkah lebih jujur, lebih berani, dan lebih terbuka. Jika semua elemen masyarakat kembali merapatkan barisan dalam semangat meusyuhu yang sejati, bukan basa-basi politik, maka masa depan Pidie Jaya bisa jauh lebih cerah dari hari ini.
"Selamat ulang tahun ke-18, Pidie Jaya, 15 Juni 2025. Kami tidak hanya mengingat tanggal kelahiranmu, tetapi juga terus menagih janji tentang masa depan yang adil dan bermartabat bagi semua rakyatmu. Karena sejatinya, cinta terhadap daerah bukan hanya tentang bangga, tapi tentang berani bersuara dan bekerja untuk perbaikan."