Foto : Kondisi kawasan Simpang Lima, Kota Banda Aceh. (Muhammad Iqbal) | LIPUTAN GAMPONG NEWS
ARTIKEL - Pada abad ke-16, kota Banda Aceh telah berkembang menjadi kota pelabuhan Islam dan membawanya kepada karakter tamaddun yaitu kota bandar perdagangan kosmopolitan (Wulandari, dkk., 2016).
Pembangunan kota modern Banda Aceh mulai dikembangkan pada era kolonial Belanda yang ditandai dengan modern abad-21.
Tsunami Aceh pada tahun 2004 silam meninggalkan rekam jejak memori yang tidak dapat dilupakan, berdampak pada mental masyarakat, sejarah, merusak pemukiman dan merubah karakter lingkungan (Auliza, M., dkk., 2021).
Setelah tujuh tahun tsunami, kawasan ini sudah menonjolkan geliat perkembangan dengan suasana yang berbeda, tercipta keragaman tata ruang lingkungan yang lebih baik dengan wajah ruang yang berbedabeda (Wulandari, 2012).
Perencanaan pembangunan kembali Aceh pada sepuluh tahun pertama cenderung menyiapkan Kota Banda Aceh dan masyarakatnya yang tangguh bencana, serta merupakan aset untuk pariwisata tsunami (Wulandari & Safriana, 2017).
Kawasan pecinan di Kota Banda Aceh yang meliputi gampong peunayong, laksana, dan mulia di hubungkan oleh jalan Teuku Panglima Polem sebagai jalan arteri sekunder. Citra kawasan pecinan semestinya tampak dari elemen-elemen perancangan kota terutama jalur pedestrian yang semestinya dapat membawa manusia lebih mengenal identitas Kota Banda Aceh melalui pencitraan sense of place ruang publik.
Namun berdasarkan pengamatan lapangan, sense of place ruang publik di jalan Teuku Panglima Polem belum kuat dirasakan, hal ini dikarenakan pembangunan Kota Banda Aceh dilakukan dengan pendekatan gaya modern sehingga mengurangi citra kawasan kota lama khususnya desain jalur pedestrian. Sense of place dapat terjadi dimana saja; pusat kota, ruang publik, perumahan, bahkan rumah kita sendiri.
Setiap ruang memberikan kesan yang berbeda, yang baik maupun buruk. Setiap kesan yang timbul juga dipengaruhi oleh kegiatan yang dilakukan oleh pengguna di ruang tersebut (Ng, 2016).
Elemen-elemen jalur pedestrian seperti bollards, pagar pembatas jalan, dan papan informasi ternyata menambah kualitas ruang publik dari segi visual (Shamsuddin, dkk, 2012).
Namun pada kenyataannya, kondisi material permukaan jalur pedestrian beserta street furniturenya yang tidak terawat dan belum sepenuhnya layak mewadahi pergerakan aktif dari pengguna jalur pedestrian.
Yang menjadi salah satu inspirasi menarik dari pemukiman informal di Cape Town, Afrika Selatan, yang lebih dari 600 permukiman informal dengan menggunakan data pergerakan dan struktur jaringan, kami menganalisis pola pergerakan dalam konteks dua teori yang berlaku tentang pilihan rute pejalan kaki berdasarkan karakteristik jaringan yang berasal dari dan diuji dengan pola pergerakan di kota-kota formal berpendapatan tinggi. Untuk memahami seberapa baik teori-teori tersebut menjelaskan data empiris.
Di Cape Town, Afrika Selatan dapat mempelajari sebuah permukiman informal berusia sekitar 30 tahun dengan luas sekitar 38.200 meter persegi (Ndifuna Ukwasi et al., n.d.), yang terletak di Khayelitsha, pinggiran Cape Town.
Dikenal sebagai "pemukiman informal saku", lingkungan ini dikelilingi oleh rumah-rumah dan jalan-jalan formal, menciptakan perbatasan yang berpori antara pengalaman formal dan informal.
Kami mulai mempelajari lokasi ini sebagai bagian dari proyek yang lebih luas tentang penerangan umum di permukiman informal karena pimpinan komunitas terbuka untuk berkolaborasi dalam penelitian transdisipliner.
Seperti banyak permukiman informal lainnya (Kamalipour & Dovey, 2019), jaringan jalan setapak ini sebelumnya tidak dipetakan. Untuk memetakannya, kami memulai dengan citra satelit tahun 2018 dari permukiman informal (City of Cape Town, 2018) dan bekerja sama dengan para pemimpin lokal untuk menggambar semua fitur jaringan.
Pada gambar berikut menunjukkan peta pemukiman informal pada bulan Agustus 2019, tepat sebelum pemasangan sensor.
Kami mengklasifikasikan jaringan jalur ke dalam tiga kategori:
- Jalan-jalan utama (garis hitam tebal) membelah lingkungan ini. Jalan-jalan ini tertutup pasir, namun dapat dilalui kendaraan. Jalan-jalan ini dimasukkan dalam perhitungan berbasis teori karena merupakan titik penghubung utama ke area formal, yang dapat mempengaruhi pergerakan di dalam permukiman, tetapi tidak dipantau dengan sensor karena kendaraan akan membuat pengukuran sensor menjadi bias.
- Jalan-jalan formal (garis abu-abu) diaspal dan mengelilingi lingkungan sekitar. Jalan tersebut memiliki lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jalan ini menghubungkan lingkungan dengan ekonomi di sekitarnya dan termasuk dalam perhitungan berbasis teori karena jalan ini mempengaruhi pergerakan di dalam permukiman. Jalan-jalan formal tidak dimasukkan dalam studi sensor karena berada di luar permukiman informal. Selain itu, sensor tidak dirancang untuk mengukur lebar jalan formal secara akurat dan kendaraan yang menggunakan jalan ini juga akan memiliki pengukuran sensor yang bias.
- Jalur (garis hitam tipis) adalah jalur pejalan kaki. Sensor hanya ditempatkan di jalur. Analisis empiris kami mengenai aktivitas pejalan kaki dan perbandingan antara data empiris dan prediksi teoretis didasarkan pada pergerakan jalur saja.
Hal ini juga dapat dilakukan di sepanjang Jl. Teuku Panglima Polem di kawasan-kawasan simpang lima, Kecamatan Kua Alam, Kota Banda Aceh.Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, jalur pedestrian di jl. Teuku Panglima Polem memiliki sense of place dengan predikat belonging to a place, predikat ini setara dengan nilai 2 dari skala nilai 4, atau jika dipersentasekan adalah setara dengan rentang 26% - 49%.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa tingkat sense of place di jalur pedestrian jl. Teuku Panglima Polem masih tergolong menengah kebawah, sehingga perlu adanya perhatian pemerintah dalam revitalisasi jalur pedestrian jl. Teuku Panglima Polem.
Berdasarkan temaun penelitian, variabel bidang langit memberikan kontribusi pengaruh paling dominan terhadap terbentuknya sense of place ruang publik jl. Teuku Panglima Polem, yaitu sebesar 37,85%.
Sedangkan variabel lain seperti: bidang alas memberikan kontribusi pengaruh sebesar 29,21%, variabel bidang dinding bangunan memberikan kontribusi pengaruh sebesar 18,87%, dan variabel bidang tepi jalan memberikan kontribusi pengaruh sebesar 14,08%.
Sehingga bila ingin meningkatkan sense of place ruang publik jl. Teuku Panglima Polem, maka fokus pertama adalah meningkatkan bidang langit jalur pedestrian.
Secara keseluruhan, jalur pedestrian memiliki pengaruh terhadap sense of place sebesar 86,8%, sedangkan selebihnya sebesar 13,2% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi sense of place ruang publik jl. Teuku Panglima Polem ini.
Fasilitas disability guide untuk penyandang tunanetra, dan ramp untuk kemudahan aksesibilitas. Warna hijau, biru-hijau, dan biru memiliki kesan dingin (Porter & Mikellides, 2015), warna dingin cocok digunakan untuk desain shelter karena area peristirahatan membutuhkan kesan sejuk.
Pengadaan shelter dengan sentuhan warna biru oriental guna menciptakan atmosfer nyaman untuk pengguna ruang publik sehingga terhindar dari paparan sinar matahari langsung, dengan terwujudnya kenyamanan, akan dengan sangat mudah merasakan sense of place.
Penulis: Muhammad Iqbal - (23040204010010) - Mahasiswa Magister Arsitektur - Universitas Syiah Kuala.