Ujung Lidah Dulu, Ujung Jari Kini: Ujian Akhlak di Era Informasi
Oleh: Fakhrurrazi, RA
Penulis Tafakur dan Reflektif
OPINI - Di masa lalu, fitnah dan kabar buruk menyebar dari mulut ke mulut. Perlu waktu berhari-hari agar satu cerita bisa menembus batas desa ke desa lain. Namun hari ini, hanya dengan satu sentuhan jari, informasi benar maupun palsu bisa menjalar ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Inilah tantangan baru peradaban: kecepatan menyebar melampaui kedalaman berpikir.
Tak sedikit dari kita yang tergoda menjadi penyebar kabar tanpa pikir panjang. Tangkapan layar percakapan pribadi, video yang dipotong-potong, atau status penuh emosi tersebar tanpa filter. Tanpa sadar, kita ikut mencemarkan nama baik orang lain, menyebar prasangka, bahkan membuka aib yang seharusnya ditutup rapat.
Padahal, Islam telah memberi panduan tegas dalam menyikapi berita:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."
(QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini bukan sekadar seruan untuk berhati-hati, tapi juga peringatan akan bahaya sosial dari informasi yang tidak diverifikasi. Kesalahan menyebarkan bisa berujung pada fitnah massal. Dalam dunia digital, satu klik bisa berarti dosa berjamaah yang tak terlihat.
Akhlak Digital, Tanggung Jawab Personal
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.”
(HR. Muslim)
Di zaman ini, hadist itu sangat relevan. Kita tidak hanya menceritakan dengan lidah, tapi juga dengan:
membagikan ulang (share), menyebarkan lewat grup WhatsApp, menulis ulang di status media sosial, atau me-retweet cuitan yang belum tentu benar. Jika dulu dosa datang dari lidah, maka hari ini dosa juga mengalir dari jari-jari kita.
Sungguh ironis, banyak orang yang begitu semangat berburu pahala, tapi lalai menjaga etika digital. Kita ingin menjadi orang baik, tapi tak sadar telah ikut menyebar aib orang lain. Kita ingin tampil islami, namun lupa bahwa menutupi kesalahan saudara juga bagian dari keimanan.
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Jika Tak Mampu Menebar Kebaikan, Maka Diam Itu Mulia
Di tengah derasnya arus informasi, Rasulullah ﷺ telah memberi petunjuk yang sederhana namun penuh makna:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diam bukan berarti lemah. Diam adalah sikap elegan ketika ucapan hanya akan melukai. Diam adalah pertahanan terakhir ketika tidak mampu menolong, tapi juga enggan menyakiti.
“Jika ucapanmu lebih baik dari diam, maka bicaralah. Tapi jika diam lebih baik, maka diamlah.”
—Imam Syafi’i
Menjadi Lentera Kebaikan di Tengah Gelapnya Fitnah
Hari ini kita tidak dituntut menjadi sempurna, tetapi tidak turut menyebarkan keburukan adalah awal dari kebermanfaatan. Jika belum mampu menjadi pembawa kabar gembira, setidaknya jangan menjadi penyebar keresahan.
Mari gunakan media sosial untuk menyebarkan semangat, ilmu, inspirasi, dan solusi. Jangan biarkan akun-akun kita menjadi saluran dosa jariyah yang terus mengalir bahkan setelah kita wafat.
Karena sesungguhnya, di akhir zaman ini, menjaga jari sama pentingnya dengan menjaga lidah. Ujian terbesar bukan hanya soal apa yang kita lakukan, tapi juga apa yang kita sebarkan.
"Di akhir zaman, manusia akan diliputi fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita."
(HR. Abu Dawud)
Di tengah kegelapan itu, jadilah lentera. Jika belum mampu, maka cukup dengan tidak menjadi api yang membakar segalanya.
Fakhrurrazi RA,
Penulis Tafakur dan Reflektif. Aktif menulis tema-tema spiritualitas sosial dan kontemplasi akhlak di era modern.