Teuku Chik Meureudu: Kearifan Lokal dan Semangat Tradisi
Oleh : Bustami M Yunus
OPINI - Pada zaman yang telah berlalu, di tengah gemuruh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, terdapat sebuah tanah yang disebut Meureudu. Kala itu, Meureudu dianggap istimewa, menjadi wilayah yang terlepas dari belenggu aturan raja. Namun, dengan segala keistimewaannya, Meureudu hanya berkewajiban menyediakan persediaan logistik, khususnya beras, untuk keperluan kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda kemudian digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1640. Di bawah pemerintahan Iskandar Tsani, Teuku Chik Meureudu diangkat sebagai pemimpin definitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia adalah putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang juga dikenal sebagai Meurah Johan Mahmud, yang mendapatkan gelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Teuku Chik Meurah Johan Mahmud membangun fondasi pemerintahan Negeri Meureudu sekitar tahun 1640. Dengan bijaksana, ia mendapat bimbingan dari tokoh agama dan pemimpin adat seperti Teungku Ja Pakeh, Panglima Malem Dagang, Teungku Meurah Puteh, Teungku Dipucok Krueng Beuracan, dan banyak lagi. Mereka memberikan arahan dalam menjalankan hukum Islam dan tradisi Aceh yang berlandaskan Syari'at Islam.
Selama kepemimpinannya, Teuku Chik Meurah Johan Mahmud selalu meminta petunjuk dari para ulama, penghulu adat, dan cendikiawan. Ia mengemban tugasnya dengan bijak, memandang bahwa keadilan dan kearifan lokal adalah pilar utama dalam mengelola Negeri Meureudu.
Setelah memimpin selama 17 tahun, Teuku Chik Meurah Johan Mahmud berpulang kerahmatillah pada tahun 1657. Ia dimakamkan di Maqbarah Teuku Chik di atas "Cot Meunasah Raya Babah Jurong", sebuah tempat yang menjadi saksi bisu dari sejarah besar Meureudu.
Namun, pada masa penjajahan Belanda, nasib Negeri Meureudu berubah. Statusnya diubah menjadi Kewedanan yang diperintah oleh seorang Controlleur. Di bawah cengkeraman penjajah, Meureudu harus menanggung kepemimpinan empat belas Controlleur yang berdaulat atas wilayahnya, dari Ulee Glee hingga Panteraja.
Zaman berubah, dan di bawah kekuasaan Jepang, masyarakat Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo Meureudu Sun dan seorang Guntyo Meureudu Gun. Namun, semangat dan tekad Meureudu untuk mempertahankan identitas dan kearifan lokal tidak pudar.
Setelah berabad-abad berada di bawah cengkeraman penjajah, tiba saatnya untuk melepaskan diri. Pada tahun 1967, Meureudu mengalami perubahan besar. Ia menjadi Pusat Kawedanan dan pusat kecamatan yang pada akhirnya menjadi kabupaten baru yang dikenal sebagai Pidie Jaya.
Keturunan Teuku dan Ampon dari Negeri Meureudu membentuk rantai tak terputus dari Teuku Chik Meurah Johan Mahmud hingga saat ini. Mereka adalah penjaga tradisi, pembawa estafet sejarah yang gemilang.
Pangeran Hasyim, terlahir dari garis keturunan yang agung, menjadi titik sentral dari keluarga ini. Tempat tinggalnya di "Roemoh Koeta Lampoh Djok" di Koetaradja adalah saksi bisu dari keagungan sejarah yang terus mengalir. Di sinilah, di antara jembatan Peuniti dan Asrama Puteri Islam Cut Mutia Banda Aceh, Pangeran Hasyim memimpin dengan bijak.
Dari anak cucu Teuku Chik Meureudu, cerita hidup terus berlanjut. Dari Teuku Chik Ben Hasan hingga Teuku Chik H. ben Sawang, setiap generasi membawa estafet kepemimpinan dan warisan kearifan lokal.
Inilah riwayat singkat, tetapi penuh makna, tentang Teuku Chik Meureudu pertama, Meurah Johan Mahmud. Di balik namanya terkandung kearifan, keadilan, dan semangat mempertahankan tradisi lokal. Semoga cerita ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang, menginspirasi mereka untuk memelihara dan menghormati akar budaya mereka yang kaya dan berharga.
Cerita ini adalah ringkasan sejarah. Semoga cerita ini dapat menginspirasi dan memberikan pengertian kepada generasi sekarang tentang kearifan lokal dan semangat mempertahankan tradisi.