Membudayakan Disiplin, Bersih, dan Bahasa Santun di Sekolah
Foto : Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Bagaimanakah membudayakan sesuatu ke tengah-tengah kita? Misalnya kita seorang guru, kita ingin sekolah kita bersih, disiplin, dan tidak ada lagi perkataan kotor dari para siswa saat kita di sekolah.
Tentu saja pertama sekali yang harus dipahami adalah apa itu budaya? Dari banyak buku kita bisa membaca dan dari sana kita mengerti banyak sekali definisi tentang budaya. Dari banyak referensi tersebut mungkin dapat disimpulkan bahwa budaya adalah segala kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang karena dipercaya sebagai sesuatu yang baik.
Di Aceh, setiap bulan maulid diadakan kenduri maulid. Perayaan ini untuk mengingatkan segala sumbangsih Nabi Muhammad Saw. baik dalam laku beliau sebagai pribadi, suami, seorang ayah, sebagai negarawan, bahkan sebagai seorang kanak ketika diasuh oleh pamannya Abi Thalib.
Jika masih ada yang belum mau shalat meskipun tiap tahun bersedia mengeluarkan jutaan uang untuk kenduri maulid, ini artinya belum memahami subtansi dari perayaan hari lahirnya Rasulullah Saw. Begitu juga dengan seorang guru, jika dia ingin anak-anak disiplin, sekolah bebas dari sampah, dan tidak ada lagi bahasa-bahasa kotor di antara anak didiknya, dia harus lebih dulu memahami apa itu disiplin, untuk apa disiplin dan dua hal lainnya yang telah disebut tadi.
Mengapa kita harus mengurutkan itu lebih dulu? Karena dalam kenyataannya seseorang akan melakukan sesuatu yang dianggap baik bila ia setuju bahwa sesuatu itu baik. Dalam Islam, seseorang yang berprilaku bersih dianggap telah memiliki separuh dari iman. Dari konsep tersebut kita dapat 'nyatakan betapa pentingnya kebersihan. Dan bersih itu bukan hanya bersih diri, tapi juga bersih lingkungan. Ketika kita mengunjungi rumah calon istri, melihat bunga-bunga di halaman rumah, toilet yang kinclong, kita tentu dapat memastikan bahwa kita tak salah pilih calon ibu dari anak-anak kita dalam hal kebersihan.
Kembali ke membudayakan disiplin, bersih, dan berbahasa santun di sekolah, ketiga ihwal ini harus disosialisasikan dulu ke semua anggota kelas. Kalau bahasa rekan saya di SMAN 1 Meureudu Bu Cut Laila Kulsum, 'disouding' dulu atau disuarakan berulang-ulang oleh pihak sekolah. Pihak sekolah itu siapa? Kepala sekolah, para wakil, dewan guru, dan tenaga kependidikan, bahkan satpam sekolah.
Patut diingat, kalau kita mau bilang, "Nak, matamu ada taiknya." Tentunya kita harus lebih dulu mengaca, mataku ada tahi mata tidak. Jangan sampai si anak malah jawab, "Makasih, Bu. Tapi mata Ibu juga tuh ada taiknya." Begitu juga dengan disiplin semisal hadir tepat waktu di sekolah. Kalau gurunya malah telat melulu, mendisiplinkan para siswa untuk hadir tepat waktu mustahil menjadi kenyataan. Sebuah keniscayaan jika sekolah ingin mendisiplinkan para siswa jika si guru sendiri yang berposisi sebagai orangtua di sekolah tidak mampu menjadi contoh. Ini namanya mimpi di siang bolong.
Demikian juga dengan kebersihan. Jika para guru hanya 'sounding-sounding' saja, tapi tidak mampu menunjukkan upaya mengambil sampah sendiri dan orang lain baik punya guru lain maupun punya anak-anak dan selalu meminta para siswa mengutip sampah di mana saja dan kapan saja secara konsisten, maka harapan ingin membudayakan kebersihan hanya suam-suam tahi ayam, kalau kata Upin Ipin.
Lantas bagaimana dengan berbahasa santun di sekolah? Ini agak susah. Siswa terdiri dari individu-individu yang dibentuk oleh pelbagai model pengasuhan orangtua. Saya yakin, tidak ada guru yang mengeluarkan makian kotor di kelas ataupun di lingkungan sekolah. Solusi terbaik dari saya adalah membuat aturan tidak boleh menggunakan bahasa Aceh di sekolah. Aturan ini juga harus dibudayakan oleh para guru lebih dulu, baru kemudian dengan sendirinya diikuti para siswa.
Mengapa saya menawarkan solusi ini? Sebagai guru bahasa, ada pemahaman bahwa bahasa kedua kurang memiliki nilai rasa dalam hal semantik atau makna kata. Artinya, si pemaki dan yang dimaki akan merasakan nilai rasa kata yang kurang jika dimaki dengan bahasa kedua. Sederhananya begini, susah juga menjelaskan he he; kalau kita orang Aceh dan bahasa pertama yang kita kuasai adalah bahasa Aceh sampai usia kita SMA, kita akan merasa lebih sakit hati dimaki dengan bahasa Aceh ketimbang dimaki menggunakan Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan si pemaki.
Saya pikir, solusi ini patut dicoba. Sehingga kita yang jadi guru tidak akan pernah lagi mendengar bahasa-bahasa kotor dari mulut anak didik kita. Di catatan singkat ini saya rasa tak perlulah saya rincikan apa saja kata-kata kotor atau makian dari anak-anak kita. Karena saya yakin Anda pasti tahu juga.
Oleh: Edi Miswar, S.Pd.,Gr.
Guru SMAN 1 Meureudu