19 Desember 2025
Opini

Sumpah Pemuda dan Semangat Anti Korupsi

OPINI - Di sebuah ruang sederhana di Batavia, 97 tahun silam, para pemuda berkumpul dengan satu tekad untuk menyatukan bangsa yang tercerai-berai oleh sekat suku, bahasa, dan kepentingan. Tak ada mikrofon, tak ada kamera, hanya suara yang lahir dari dada yang bergetar oleh cinta tanah air. “Kami putra dan putri Indonesia....” begitu kalimat itu diucapkan, tegas, padat, dan mengguncang sejarah. Siapa sangka, kalimat sederhana itu kelak menjadi fondasi moral seluruh bangsa.

Kini, hampir satu abad berlalu, bangsa ini masih mencari bentuk terbaiknya. Bukan lagi di bawah bayang penjajah, melainkan di bawah bayang-bayang korupsi yang merayap halus, lebih licin dari ular, lebih dalam dari akar. Dari ruang parlemen hingga lorong desa, dari proyek infrastruktur hingga amplop kecil di meja birokrasi, racun itu menyebar, menumpulkan nurani, dan menelan masa depan. Di sinilah semangat Sumpah Pemuda kembali relevan, bukan sebagai nostalgia, melainkan sebagai senjata moral melawan musuh baru keserakahan.

Di kampus-kampus, di kafe-kafe kecil, dan di ruang maya yang tak mengenal batas, para pemuda hari ini mulai resah. Mereka bicara tentang transparency, integrity, dan digital justice  istilah baru untuk perjuangan lama. Tak lagi dengan pidato berapi-api, melainkan dengan hashtag, video singkat, dan aplikasi pelaporan publik. Mereka menulis ulang naskah perjuangan dengan tinta digital, tetapi dengan jiwa yang sama, berani melawan.

“Korupsi itu bukan hanya mencuri uang negara tapi mencuri masa depan, mencuri kesempatan anak-anak kecil yang seharusnya punya buku, bukan hanya jalan berlubang."

Namun, idealisme bukan tanpa tantangan. Di tengah arus pragmatisme dan budaya instan, kejujuran sering dianggap utopia. Banyak yang memilih diam daripada melawan, takut tersingkir atau kehilangan kenyamanan. Di sinilah ujian sesungguhnya semangat Sumpah Pemuda diuji. Dulu, mereka melawan kolonialisme; kini, kita melawan kolonisasi mental, godaan untuk korup, berkompromi, dan menutup mata.

Gerakan antikorupsi masa kini seharusnya tak hanya berhenti di seminar dan spanduk. Ia mesti menjelma dalam tindakan kecil, seperti menolak suap, melapor penyimpangan, bekerja jujur meski tak terlihat. Dalam bahasa lain, Sumpah Pemuda abad ke-21 bisa berbunyi: “Kami, pemuda Indonesia, bersatu dalam integritas, berjuang untuk keadilan, dan berbahasa jujur.” Sebuah ikrar yang mungkin tak terucap di podium, tapi tercermin dalam perilaku sehari-hari.

Pemerintah boleh membangun lembaga antikorupsi, tetapi tanpa semangat pemuda, ia hanyalah gedung megah tanpa nyawa. Korupsi bukan hanya soal hukum, melainkan soal nilai. Dan nilai, seperti halnya semangat 1928, selalu tumbuh di dada generasi muda yang berani berkata “tidak” pada kegelapan. Ketika mereka bersatu, perubahan bukan lagi cita-cita, ia menjadi kenyataan yang bergerak.

Maka, setiap kali 28 Oktober tiba, mari kita dengarkan kembali gema masa lalu itu, bukan dari buku sejarah, melainkan dari nurani kita sendiri. Sebab, Sumpah Pemuda sejatinya bukan milik masa lalu. Ia adalah api yang harus terus dijaga agar bangsa ini tak lagi membara karena korupsi, tapi menyala karena kejujuran. Di zaman yang serba digital ini, kejujuran mungkin tampak usang, tapi justru di situlah letak kemuliaannya, menjadi  nilai lama yang selalu baru, dan selalu relevan. (TS)