Perdamaian dan Harapan
Penulis: Abdan Syakura Founder Inisiator Muda Berkarya (IMB)
OPINI - Kita telah belajar terbang di udara seperti burung dan berenang di laut seperti ikan, tetapi kita belum belajar seni sederhana untuk hidup bersama sebagai saudara,” demikian ujar Martin Luther King Jr (1929-1968).
Situs resmi The Nobel Prize memosting pernyataan pejuang perdamaian tersebut saat memasuki Tahun Baru 2025! King yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1964 bermimpi mengenai kesetaraan kemanusiaan dengan keyakinan bahwa semua orang akan dinilai dari kualitas pribadi dan bukan dari warna kulit mereka.
Ketika kemajuan spektakuler dalam sains dan teknologi belum jauh mengubah peradaban komunikasi di era digital dan kecerdasan buatan seperti di awal abad ke-21, King sudah berbicara tentang ”ada sesuatu yang mendasar yang hilang”.
Ada semacam ”kemiskinan roh” yang menurut dia sangat kontras dengan kelimpahan ilmu pengetahuan dan teknologi kita. ”Semakin kaya kita secara materi, semakin miskin kita secara moral dan spiritual,” kata King.
King adalah orang termuda penerima Hadiah Nobel Perdamaian, di usia 35 tahun. Ketika diberi tahu tentang pemilihannya, ia mengumumkan akan menyerahkan hadiah uang sebesar 54.123 dollar AS untuk memajukan gerakan hak-hak sipil. King menganut filosofi non kekerasan Gandhi.
Perjuangannya dimulai pada 1955, untuk membujuk Pemerintah AS bahwa kebijakan diskriminasi rasial melanggar hukum. Namun, tragisnya, pada April 1968, ia dibunuh oleh seorang rasis kulit putih hanya empat tahun setelah menerima hadiah perdamaian untuk kampanye non kekerasan melawan rasisme.
Enam dekade kemudian upaya perjuangan keadilan dan gerakan perdamaian tidak padam di tengah berbagai tekanan krisis akibat ulah manusia (kekerasan, konflik, perang) dan perubahan iklim (bencana alam dan pemanasan global).
Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam pesan video menyambut Tahun Baru 2025, menggambarkan situasi dunia, ”Sepanjang 2024, harapan sulit ditemukan. Perang menyebabkan rasa sakit, penderitaan, dan pengungsian yang luar biasa. Ketidaksetaraan dan perpecahan merajalela-memicu ketegangan dan ketidakpercayaan.”
Seperti kita simak sepanjang 2024, dunia dilanda serangkaian konflik yang memengaruhi lanskap geopolitik dan stabilitas keamanan global. Mulai dari perang di Ukraina hingga konflik kekerasan di Timur Tengah, yang menjadi saksi pergeseran aliansi dan aksi militer yang menghancurkan cita-cita perdamaian.
Efek riak dari krisis ini meluas jauh melampaui wilayah terdekatnya, bahkan memengaruhi hubungan diplomatik dan prioritas strategis di seluruh dunia.
Selama 12 bulan sebelum 12 Desember 2024, 10 negara dikategorikan sebagai negara dengan konflik ekstrem, yakni Palestina, Myanmar, Suriah, Meksiko, Nigeria, Brasil, Lebanon, Sudan, Kamerun, dan Kolombia. Perang bergeser dari Afghanistan ke Ukraina dan Palestina.
Menjelang akhir 2024, perang baru dan yang sedang berlangsung telah mengakibatkan lonjakan kematian di berbagai zona konflik. Dari 1 Januari hingga 13 Desember 2024, lebih dari 200.000 orang tewas dalam pertempuran, ledakan perang, kekerasan jarak jauh, dan kekerasan terhadap warga sipil (The Armed Conflict Location and Event Data [ACLED] database, Desember 2024).
Sementara bersamaan itu pula, dunia mengalami satu dekade terpanas yang mematikan, termasuk pada 2024, sehingga memunculkan pertanyaan mendasar bagaimana negara-negara didorong bekerja sama untuk keluar dari jalan menuju kehancuran ini.
PBB mengimbau pada 2025, negara-negara harus berkomitmen membawa dunia ke jalur yang lebih aman seperti mengurangi emisi secara dramatis, dan mendukung transisi menuju masa depan yang terbarukan. Hal ini sangat penting dan sangat mungkin dilakukan.
Apakah harapan dunia yang damai, bukan dunia yang terpecah belah, tetapi sebagai bangsa-bangsa yang bersatu, setara, stabil, dan sehat bagi semua orang, yang akan terwujud? Apakah ”seni sederhana” untuk ”hidup bersama sebagai saudara” warga umat manusia sebagaimana yang dimimpikan orang seperti King akan terwujud pada 2025 dan seterusnya?
Ada harapan besar ketika baru-baru ini Indonesia menjadi anggota BRICS. Sebagai bangsa besar di Asia Tenggara, Indonesia bisa jadi pembangun jembatan kekuatan-kekuatan dunia, pengejawantahan kebijakan luar negeri bebas-aktif, dan subyek aktif dalam percaturan agenda perdamaian, tidak hanya obyek pasif dari agenda neoliberalisme dan konsumen pasar dunia.
Apakah harapan itu hanya utopia belaka? Tentu saja jawabannya akan sangat bergantung pada politik diplomasi dan kemandirian Indonesia dalam bidang ekonomi dan teknologi serta ketangguhannya sebagai bangsa dalam dimensi nilai sosial dan budaya yang menjadi kekuatan persuasif untuk menggerakkan aspirasi dan visi perdamaian bersama ini sehingga menjadi kenyataan.