21 Juni 2025
Opini

Nak, Sekolah Bukan untuk Kalian

OPINI - Kejadian apa di tanggal 21 Juni? Mungkin lain orang, lain pula penafsirannya. Tapi memang biasanya kita dipertontonkan dengan kejadian yang demikian. Media sosial juga sangat mendukung akan suasana hati. Seakan semuanya bisa tertumpah ruah. Dengan mengabaikan norma-norma yang ada. Tersirat sebuah cerita, tentang sebuah kebanggaan akan puncak pencapaian lahiriah. Sehingga lahir keriyaan yang menjadi fenomena musiman. 

Seandainya, para toke itu juga memegang prinsip demikian. Yang dipublis padanya berupa laba, bukan kerugian. Pastinya kisaran harga akan stabil, atau malah menjadi lebih murah.  Hal ini akan memancing besarnya permintaan pasar terhadap barang tersebut. Terciptalah sebuah mutualisme yang sehat. ‘Gimana? Lain tidak rasanya dunia?

Teringat kita sebuah cerita dalam Al-qur’an, tentang Luqmanul Hakim. Tentunya ini harus kita imani bersama, karena beliau memiliki keistimewaan dan mendapat anugerah dari Allah swt. _“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,..”_ (QS. Lukman: 13). _“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu,...”_ (QS. Lukman : 17). _“dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh...”_, (QS. Lukman: 18).

Masih banyak lagi nasihat Luqman Al-Hakim kepada anaknya. Baik itu nasihat tentang tauhid, ibadah, akhlak mulia, maupun adab. Intinya adalah panduan lengkap untuk menjalani hidup yang baik, baik di dunia maupun di akhirat.

Tapi, bagaimana dengan kita?

Agak lain memang menjadi orang tua di zaman sekarang. Di setiap akhir tahun atau akhir semester. Rata-rata di media sosial, kita akan dipertontonkan sebuah ritual konyol. Sambil mengunggah berupa foto atau vidio, dengan menyelipkan kata, “Selamat anakku, anak mama, anak abu, kemenakan miwa, cucu nenek, cucu kakek ... atas keberhasilannya”. Sebegitu bangganya kita akan capaian anak-anak kita. Hasil dari proses belajar di sekolah. Serasa dunia telah berubah. Padahal yang berubah itu cuma angka. Lupa kita, bahwa kitalah sebenarnya yang harus si anak banggakan, sebagai _role_ model dalam hidupnya.

Jika pun “angka” itu yang menjadikan kita bangga, yakinkah kita akan akuntabelnya nilai itu?. Jangan-jangan hanya settingan agar mulus mendapatkan undangan kampus. Mungkin juga gara-gara orang tuanya yang murah hati dan banyak fulus. Atau hasilnya diperoleh guru dari rumus tambah, kurang, kali, dan bagi yang tidak terurus. Bisa-bisa saja ‘kan? Nasib... nasib... Anakmu lagi mujur kadang.

Jika boleh dikisahkan, seorang anak yang izin pergi memancing. Kemudian membawa pulang  tuna raksasa. Akankah kita bertanya, “Kamu mancingnya di mana?”, “Pakai umpan apa?”, “Sanggupkah kamu menarik beban ikan sebesar itu?”. Jangan-jangan tuna raksasa dipancingnya dari dalam paya (rawa-rawa). He he he…

Zaman sudah berubah

Lupakan sajalah para orang tua si anak yang begitu. Dunia sekarang memang demikian. Anggap saja para orang tua yang demikian termasuk dalam kategori _Obsessive Compulsive Disorder_ (OCD). Bagaimana dengan mereka para pencipta masalah? Yaitu mereka para guru, wali kelas dan kepala sekolah. Akankah berakhir cuma seperti hasil akhir perampokan 4 pulau di hari kemarin?

Seharusnya, pihak sekolah harus bertanggung jawab akan itu. Merekalah yang telah menebar dan menabur benih.  Meramu obat yang tidak beriwayat. Atas dasar apa perangkingan terhadap siswa mereka lakukan?

Dua belas tahun yang lalu. Jika kita berdasar pada format rapor di masanya, kolom untuk rangking itu memang ada. Aneh memang, ketika mangga, nenas, dan buah-buahan lainnya. Diaduk dengan campuran  dengan adukan  bumbu kacang,  manisan, dan cabe-cabean. Jadilah sepiring rujak, rujak yang kemudian dirangkingkan. Begitulah kira-kira konsep penilaian sebelumnya. Antara nilai ujian, sikap, dan keterampilan seorang anak dicampur menjadi satu dan hanya satu-satunya nilai per pelajaran. Anggap saja itu logis untuk dirangkingkan.

Masalahnya menjadi berbeda, ketika kurikulum tahun 2013 berlaku. Dalam penerapannya menganut penilaian yang autentik. Nilai seorang anak dipisahkan menjadi 3 jenis yaitu kompetensi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Alat ukur untuk perolehan nilai tersebut pun berbeda. Sehingga ketiganya punya tabel tersendiri secara terpisah di rapor.

Pada kurikulum ini proses perangkingan sangat dilarang. Bukan saja karena kolom untuk mencantumkan rangking yang dihilangkan, tapi juga mengingat tiga jenis penilaian yang tidak bisa disatukan. Jika seorang anak lebih di pengetahuan, belum tentu lebih di sikap. Banyak anak yang sikapnya berkategori ‘Amat Baik’, tapi memiki kompetensi pengetahuan ‘Cukup’. Kira-kira seperti itulah probabilitasnya.

Jadi, kenapa juga perangkingan itu ada? Nilai apa yang menjadi patokanya?
 
Ironi

Secara profesional, ini menjadi hal yang jenaka dan membagongkan. Jelas-jelas sudah dilarang, kenapa terus dipaksakan?. Setelah sepuluh tahun penerapannya, para  guru dan pihak sekolah tetap saja ‘ngotot. Dari pihak pengawasan dan dinas terkait pun diam seribu bahasa. 

Di satu sisi, yang namanya memberi penghargaan ke anak itu sah-sah saja. Tapi pemerintah mengharapkan adanya sebuah keadilan. Karena  kelebihan setiap anak itu tidak sama. Namun tetap harus fokus pada penanaman nilai karakter. 

Ada 18 nilai pendidikan karakter pada kurikulum 2013.  Semua penilaiannya tergabung menjadi satu predikat, yaitu nilai ‘Sikap’. Saking pentingnya nilai ini, apabila anak memperoleh nilai sikap dengan predikat Cukup “C”. Maka bisa dipastikan anak tersebut akan tinggal kelas. Masalahnya, kenapa para guru dan kepala sekolah dalam perangkingan hanya fokus pada nilai pengetahuan saja?

Jika kita pantau visi dan misi sekolah yang ada, atau melihatnya waktu sekadar lewat. Pasti semua sekolah ada misi, _“mewujudkan siswa yang beriman dan bertaqwa”_. Tapi dengan cara apa misi itu tercapai? Selama kita hanya  fokus pada nilai pengetahuan sahaja. Uhuy, omong kosong...!

Baiklah, kita lupakan aturan.  Mari kita mencoba menelaahnya memakai hati, hati yang manusiawi. Jika dalam satu kelas ada 30 anak, hanya 3 anak yang kita hargai setiap semesternya. Tahun berganti dengan tahun, hanya mereka-mereka sajalah yang selalu terasa dipuja dan dipuji. 

Bagaimana dengan  yang 90% anak lainnya? Karena di antara mereka ada yang baik budi, datang paling awal setiap pagi, dan yang selalu berpakaian rapi. Belum lagi mereka yang rajin sekali, rajin membantu guru, sopan dan lembut hati. Apakah itu tidak perlu untuk dihargai? Tegakah Anda? Jika di setiap pesta semesteran, mereka pulang dengan tangan hampa. Seolah dunia berkata, _“Sekolah ini bukan untuk kalian.”_ Ada pepatah yang berbunyi, _“Ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”_

Jika karakter itu hasil dari pembiasaan. Biasakanlah dia selalu dihargai dalam berbuat baik. Sehingga mereka juga akan berlomba-lomba menjadi anak baik, bukan cuma berlomba menjadi pintar. Karena prestasi yang sesungguhnya adalah ketika anak mampu menembus dimensi spritual. _Wallahu a’lam bishawab._

Oleh : Taufik, S.Pd - Kepala SMPN 3 Ulim dan Penggiat Komunitas Muda Japakeh