Peranan Geuchik Dalam Membina Gampong Berbingkai Syariat
Oleh: Arif Zakiyul Mubarak - Staff Bidang HUMAS DEMA Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
OPINI - Sebelumnya sejarah islam pernah menyebutkan seorang pemimpin dengan titel “Khulafaur Rasyidin”. Peran dari kata “Khulafa” (Khalifah/pemimpin) saat itu bukan hanya sebagai pemerintah semata, namun mereka memberikan contoh dan menjadi contoh dalam membina umat dan masyarakat Ketika itu. Bukan hanya islam, hingga kafir zimmi (kafir dilindungi)-pun mendapatkan binaan dari mereka begitulah makna dari “Rasyid” yaitu penunjuk atau pembina.
Nah, beralih dari itu islam telah mengajarkan baik dalam segi kepemimpinannya sendiri yang salah satunya memimpin berarti membina umat. Oleh karena itu, kepada seorang Geuchik yang bersandang khalifah di Gampong haruslah mampu membina umat/masyarakat gampong dalam bingkai syari’at dan memberikan arahan Pendidikan melalui peraturan desa yang di buat. Barulah beliau bersandang dengan kata “rasyid”. Penulis mengajak dengan tujuan progresif dan mengubah paradigma keuchik gampong.
Yang pertama, mestilah seorang Geuchik dekat dengan kalangan masyarakat sekitar. Karena bila kita melihat di negara orang lain bahwa ketua atau pemimpin itu cuman formalitas dalam kepemerintahan saja, secara sosial mereka tetap sama, namun jauh berbeda dengan negara seribu pulau ini, yang pemimpin hanya memandang rendah rakyat biasa.
Yang kedua, geuchik harus dapat memberdayakan Teungku, guru agama, pendidik, dan bahkan para pemuda yang belajar di luar gampong, bukan hanya itu, namun memberikan fasilitas bagi mereka. Dimana ilmu yang mereka temui dapat di implementasikan dalam masyarakat, bukan hanya dengan dasar malu yang dimiliki, terkadang kurang fasilitator dalam gampong. Agar tidak seperti istilah orang Aceh, “Buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki”.
Yang ketiga, dalam segi keamanan dan ketertiban gampong geuchik harus lebih menjaga orang asing yang keluar masuk Terutama mengawasi tiap pemuda/I gampong, gampong agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan.
Yang keempat, geuchik mampu dalam menyatukan kaum muda atau tua dalam tiap lapisan sosial bukanlah yang kaya kita sanjung, yang miskin kita tak acuhkan, yang besar di biarkan, dan yang kecil di tekankan. Namun, berlaku adil dalam tiap umur dan kedewasaan-nya masing-masing sebagaimana poin nomor satu.
Yang kelima, dalam segi penghasilan gampong geuchik juga harus dapat memberikan program BUMG tidak hanya toko, tenda, dan peralatan semata, namun, sekiranya ada kesanggupam dengan memberikan sebidang tanah bagi masyarakat untuk di kelola dan ini juga memberikan lowongan kerja bagi pengangguran, dan memberikan asset gampong.
Dan yang tak kalah penting geuchik sudah seharusnya membuat pengkajian rutin di dalam gampongnya, dan memfasiltasi nya sebagaimana poin nomor dua.
Maka dengan demikian, geuchik tidak hanya membina masyarakat dalam bidang olah raga saja, tetapi dengan tidak sengaja masyarakat akan terbina dengan baik dan tertata sesuai dengan syari’at dan peraturan syari’at pun terjalankan dengan baik, karena, bukan peraturan syari’at saja yang penting namun mengaplikasikan/mengamalkannya itulah hakikat dari syari’at itu sendiri, dan salah satu kemunduran dari gampong adalah keteledoran geuchik tersebut. Mudah-mudahan geuchik mampu mendirikan bingkai syari’at dalam Gampong.