Loker PEMA Global Energy, Ketua Meurah Silu : Uet Jaloe Toh Kapai ?
Liputangampongnews.id - Perbincangan warganet terhadap isi flayer lowongan kerja PT. PEMA Global Energy yang beredar di sosial media dalam beberapa hari ini dianggap wajar saja terjadi oleh Andi Saputra, ketua Meurah Silu.
Lowongan kerja pada flayer tersebut ditulis dalam Bahasa asing (bahasa inggris). Untung tidak ditulis dalam Bahasa Jepang atau Bahasa Israel, masyarakat kita akan lebih merasa. “Wow”, mainan orang elit. Permainan psikologis ‘Black Coffe’ versus ‘Kopi Hitam Aceh’.
Entah disengaja atau tidak, Flayer tersebut juga menunjukkan kurang pekanya pihak terkait terhadap sosio-kultural masyarakat aceh sebagai penduduk asli daerah pertambangan.
Masyarakat kita belum begitu akrab dalam kesehariannya dengan Bahasa asing. Lebih lagi, Flayer yang isinya singkat, mudah dibagikan di akun-akun sosial media dengan tambahan-tambahan keterangan subjektif (sudut pandang pribadi pemilik akun).
Seharusnya hal ini menjadi pertimbangan awal bagi para pihak sebelum flayer tersebut di publish dan menimbulkan efek samping.
Mudah saja memang menerjemahkan dengan kecanggihan Hp android sekarang ini, bahkan untuk sekelas Bahasa Zimbabwe. Tapi kita sama-sama tahulah, sekali lagi semua ini adalah permainan psikologis antara “elit” versus “rakyat jelata”.
Sebagai salah seorang penduduk asli di daerah pertambangan Blok B, cerita-cerita seperti ini adalah ‘lagu lama’.
Bagi kami rakyat kecil ini, permainan psikologis elit versus rakyat jelata layaknya mitos malem diwa yang kisahnya gegap gempita sudah sangat akrab. Padahal, dongeng belaka.
Permainan ‘Black Coffe’ versus ‘Kopi Hitam Aceh” benar-benar lagu yang sudah sangat usang. Kalaupun memang sebuah keharusan dengan bahasa inggris, para pihak sebaiknya beritikad baik untuk meminimalsir efek negatif keriuhan di sosial media dengan cara menambah sedikit keterangan tambahan tentang serapan tenaga kerja lokal, misalkan.
Tenaga kerja lokal adalah penghasil pendapatan asli daerah (PAD) bagi kabupaten/Kota setempat. Kalau tidak, maka gegap-gempita ini, lagi-lagi keterulangan sejarah “uet jalo, toh kapai,” di Aceh.
Aceh sedang mundur di berbagai lini, pola-pola “uet jalo, toh kapai,” sudah sepatutnya diminilisir secara perlahan. ( Fadly P.B )