25 Desember 2025
Opini

Ketika Istana Terlalu Jauh dari Jerit Rakyat

Penulis : Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)

OPINI - Doa orang-orang yang teraniaya selalu menemukan jalannya sendiri. Dalam khazanah keimanan, jerit kaum lemah diyakini menembus sekat-sekat kekuasaan duniawi. Doa itu dari yang memohon keselamatan dari kezaliman dan tuntunan menuju jalan yang lurus, kerap lahir bukan dari mimbar-mimbar megah, melainkan dari tenda pengungsian, dapur umum, dan ladang-ladang yang luluh lantak. Ketika bencana datang bertubi-tubi dan negara tampak gagap, doa menjadi bahasa terakhir rakyat untuk mengetuk nurani kekuasaan.

Rentetan bencana hidrometeorologi di Sumatra dan Aceh dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan satu kenyataan pahit: kerentanan struktural yang belum tertangani secara serius. Data resmi kebencanaan menunjukkan peningkatan intensitas dan dampak banjir, longsor, serta cuaca ekstrem. Fenomena yang menurut kajian iklim, bukan lagi anomali, melainkan keniscayaan yang menuntut perencanaan jangka panjang, tata kelola lingkungan yang disiplin, dan kesiapsiagaan negara yang menyeluruh. Namun, di lapangan, koordinasi kerap tersendat, logistik tersendat, dan warga dibiarkan menunggu. Negara hadir, tetapi sering terlambat.

Dalam filsafat politik klasik, Aristoteles menempatkan tujuan negara pada the good life, yakni kehidupan baik bagi warganya. Konstitusi kita menerjemahkannya secara terang, berupa kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi, jurang antara norma dan praktik masih menganga. Pemberdayaan sumber daya alam kerap dibaca publik sebagai arena perebutan rente, bukan sebagai instrumen perlindungan dan kesejahteraan. Ketika bencana memperlihatkan rapuhnya infrastruktur sosial dan ekologis, kritik itu menemukan momentumnya.

Ironi semakin tajam saat energi politik nasional tersedot pada konflik elit dan pembesaran institusi, sementara dapur-dapur pengungsian kekurangan pasokan. Thomas Hobbes pernah mengingatkan, kekuasaan tanpa orientasi keselamatan publik akan kehilangan legitimasi moralnya. Dalam konteks kita, sikap saling menegasikan antar-aktor negara, termasuk ketegangan terbuka dengan putusan lembaga yudisial, menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen pada supremasi hukum. Presiden, sebagai pemegang mandat tertinggi, diuji bukan oleh retorika stabilitas, melainkan oleh keberanian memastikan hukum berdiri tegak dan aparatus negara bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya.

Fenomena “relawan politik” juga menambah lapisan ironi. Istilah relawan semestinya merujuk pada kesukarelawanan sosial, yang hadir di saat krisis, menambal celah negara, menguatkan solidaritas. Namun, ketika identitas relawan lebih sering tampil sebagai barisan pembela figur dan simbol, publik bertanya, kemana perginya empati sosial itu ketika bencana menuntut kehadiran nyata? Warisan satu dekade politik personalistik telah meninggalkan polarisasi tajam, mengubah hukum menjadi arena kontestasi, dan menipiskan kepercayaan publik.

Di titik inilah kepemimpinan diuji. Max Weber membedakan otoritas legal-rasional dari kharisma personal. Negara modern hanya akan kokoh bila bertumpu pada yang pertama yakni aturan, institusi, dan akuntabilitas. Harapan publik terhadap pemerintahan baru sejatinya sederhana namun fundamental: reformasi struktural dan institusional, penegakan hukum yang adil dan transparan, serta pemulihan kepercayaan yang terkikis. Namun, setelah lebih dari setahun berjalan, kesan yang menguat di ruang publik justru sebaliknya, dimana pemerintah tampak lebih sibuk menjadi perisai masa lalu ketimbang menjemput masa depan.

Kecenderungan mengadopsi gaya kekuasaan yang menumpuk wewenang, menumpulkan kritik, dan meminggirkan suara warga, berisiko menjerumuskan republik pada apa yang oleh para psikolog politik disebut otoritarian personality, yakni watak kekuasaan yang alergi pada koreksi. Padahal, sejarah bangsa ini mengajarkan satu pelajaran penting: kekuasaan yang menutup telinga pada jerit rakyat akan cepat kehilangan pijakan.

Pada akhirnya, doa-doa dari tenda pengungsian itu bukan sekadar ratapan religius. Ia adalah pengingat moral bahwa mandat kekuasaan bersumber dari penderitaan dan harapan rakyat. Negara boleh kuat di podium, tetapi ia harus lebih kuat di ladang-ladang yang terendam, di rumah-rumah yang runtuh, dan di hati warga yang menunggu keadilan. Di sanalah ukuran kenegarawanan diuji, bukan pada seberapa keras negara berbicara, melainkan pada seberapa tulus ia mendengar.