05 Juni 2025
Opini

Refleksi 15 Tahun Meninggalnya Sang Deklarator

Oleh: Fakhrurrazi - Aktivis Sosial 

OPINI - Tanggal 3 Juni 2025 menandai 15 tahun kepergian Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh yang dikenal luas sebagai deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia bukan hanya seorang pemimpin perlawanan, tetapi juga seorang pemikir dengan visi politik yang lahir dari pembacaan sejarah panjang Aceh sebagai entitas berdaulat. Dalam momentum ini, kita patut merenung: apa makna perjuangan beliau bagi Aceh hari ini?

Hasan Tiro tidak memulai perjuangannya dari senjata, melainkan dari pena dan gagasan. Ia adalah seorang intelektual, lulusan Columbia University di Amerika Serikat, yang menulis dengan tajam tentang ketidakadilan sejarah yang dialami Aceh pasca-integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Deklarasi 4 Desember 1976, ia menegaskan bahwa Aceh memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan sejarahnya sebagai bangsa merdeka sebelum kolonialisasi Belanda dan pembentukan Indonesia modern.

Pemikiran Hasan Tiro sangat dipengaruhi oleh etno-nasionalisme. Baginya, Aceh adalah bangsa yang memiliki bahasa, budaya, sistem nilai, dan pengalaman sejarah yang berbeda. Ia menyamakan perjuangan Aceh dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme. Penolakannya terhadap proyek negara-bangsa Indonesia yang dibentuk dari warisan penjajah menjadi dasar dari seluruh gagasan politiknya.

Namun, perjuangan Hasan Tiro juga mengalami dinamika besar. Pada akhirnya, jalan damai yang difasilitasi dalam Perjanjian Helsinki 2005 menjadi babak baru bagi Aceh. Meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang ia rintis, perjanjian itu mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun dan membuka peluang bagi Aceh untuk membangun dirinya secara otonom dalam bingkai Indonesia.

Hari ini, Aceh telah memiliki hak-hak khusus: bendera, lambang daerah, peraturan berbasis syariat, dan dana otsus. Tapi benarkah semangat perjuangan sang deklarator telah terwariskan secara substansial? Ataukah sekadar menjadi simbol-simbol yang kehilangan ruh? Ketika korupsi, politik pragmatis, dan krisis kepemimpinan melanda elite lokal, kita patut bertanya: di manakah nilai-nilai perjuangan yang dulu begitu dijunjung oleh Hasan Tiro?

Refleksi 15 tahun wafatnya Hasan Tiro harus menjadi titik tolak bagi generasi muda Aceh untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga memahami dan meresapi nilai-nilai perjuangan: martabat, keadilan, dan harga diri bangsa. Pemikiran politik beliau tidak harus diwujudkan melalui separatisme, tetapi melalui pembangunan Aceh yang bermartabat, adil, dan berdaulat secara ekonomi dan budaya.

Sejarah tidak boleh dilupakan, tetapi juga tidak cukup hanya dikenang. Ia harus menjadi cermin bagi masa depan. Maka, mari kita jadikan refleksi ini bukan hanya sebuah peringatan haul, tetapi juga momentum untuk kembali menata arah perjuangan: dari senjata menuju pena, dari konflik menuju martabat, dari nostalgia menuju pembaruan.