21 Oktober 2025
Daerah

Karakteristik dan Kultur Masyarakat Pidie Jaya dari Masa ke Masa

Foto : Dok. iNewsPortalAceh.id | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDPidie Jaya adalah mozaik kecil dari tanah Aceh yang menyimpan kekayaan karakter dan peradaban masyarakatnya. Setiap kecamatan di kabupaten ini memiliki ciri khas yang menonjol, terbentuk dari sejarah panjang, lingkungan geografis, serta tradisi yang diwariskan turun-temurun. Dari pesisir hingga pegunungan, dari kehidupan santri hingga dunia perniagaan, semuanya berpadu membentuk identitas kultural yang kuat dan khas.

Kecamatan Bandar Dua dan Jangka Buya dikenal luas sebagai kota santri. Kedua wilayah ini telah lama menjadi pusat tumbuhnya keilmuan Islam dan tempat bersemainya para ulama karismatik. Nama besar seperti Abu Usman Kuta Krueng menjadi saksi akan warisan panjang keilmuan yang lahir dari kawasan ini. Dengan kealiman dan keteduhan dakwahnya, beliau menjadi panutan masyarakat. Tradisi keulamaan terus berlanjut, melahirkan generasi penerus yang menjaga nilai-nilai Islam dengan kesederhanaan dan kebijaksanaan, menjadikan Bandar Dua dan Jangka Buya mercusuar spiritual bagi Pidie Jaya.

Sementara itu, kecamatan Meureudu, Ulim, dan Meurah Dua menempati posisi istimewa sebagai pusat pendidikan umum, intelektual, dan lahirnya tokoh-tokoh berpengaruh. Dari wilayah ini tumbuh banyak figur besar yang memberi warna dalam perjalanan sejarah Aceh bahkan Indonesia. Dari Ulim, lahirlah Ibrahim Abdoh, mantan Bupati Pidie yang dikenal sebagai pemimpin bijak dan berwawasan luas pada zamannya, sosok yang memimpin dengan hati, penuh kebijaksanaan, dan dihormati lintas generasi. Dari Meurah Dua, muncul pula Jafar Is, mantan Bupati Pidie yang dikenal tegas, visioner, dan berkomitmen kuat terhadap pembangunan daerah. Kedua tokoh ini menjadi lambang kepemimpinan lokal yang berakar dari nilai-nilai adat dan pendidikan yang kuat di Pidie Jaya.

Dari Meureudu, lahir Drs. M. Gade Salam, Bupati pertama Pidie Jaya yang dijuluki Bapak Pembangunan Pidie Jaya. Ia adalah sosok visioner yang menorehkan sejarah dengan membangun pusat pemerintahan di Cot Trieng, serta meletakkan dasar infrastruktur dan tata kelola pemerintahan yang kini menjadi kebanggaan kabupaten muda tersebut. Kepemimpinannya yang tegas namun bersahaja menjadikan namanya dikenang sebagai simbol kebangkitan Pidie Jaya di awal masa berdirinya.

Selain mereka, dari Meureudu juga lahir sosok militer dan negarawan, Brigadir Jenderal (Purn.) Zainuddin A.G., putra daerah yang menorehkan karier gemilang di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Disiplin dan integritas menjadikannya teladan bagi generasi muda Aceh. Tidak hanya sukses dalam militer, Brigjen Zainuddin A.G. juga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh, pada periode berbeda dengan Muhammad Nazar, tokoh asal Ulim yang juga pernah memegang jabatan yang sama. Nazar dikenal sebagai aktivis dan intelektual muda yang memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh dengan idealisme tinggi dan semangat perubahan. Kedua putra ini menunjukkan bahwa tanah Pidie Jaya bukan hanya melahirkan pemimpin lokal, tetapi juga negarawan yang berpikir untuk seluruh Aceh.

Kebanggaan masyarakat Meureudu semakin lengkap dengan hadirnya Teuku Syakur, putra terbaik yang pernah menduduki jabatan strategis sebagai Gubernur Bank Indonesia. Sosoknya adalah bukti bahwa dari wilayah kecil seperti Meureudu, lahir insan-insan berkelas nasional yang memberi kontribusi besar dalam bidang ekonomi dan keuangan negara. Keberhasilan para tokoh tersebut bukan kebetulan, melainkan hasil dari kultur masyarakat Meureudu, Ulim, dan Meurah Dua yang menghargai ilmu, kerja keras, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini menjadi fondasi kuat bagi munculnya generasi berprestasi dari masa ke masa.

Berbeda dengan wilayah tengah, kecamatan Trienggadeng dan Panteraja dikenal sebagai daerah pesisir yang melahirkan masyarakat tangguh dan pekerja keras. Kehidupan mereka sangat dekat dengan laut, tambak, sawah, pesisir dan perkebunan Sejak dahulu, mereka telah terbiasa menghadapi gelombang dan badai, menjadikan ketekunan dan kesabaran sebagai karakter utama. Profesi sebagai nelayan dan petani tambak dan pekebun bukan sekadar mata pencaharian, melainkan jati diri yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Kehidupan masyarakat pesisir menumbuhkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial yang tinggi. Mereka bekerja bersama membangun perahu, memperbaiki jaring, dan berbagi hasil tangkapan. Tradisi tolong-menolong menjadi bagian dari budaya mereka yang tak lekang dimakan zaman. Di tengah perubahan sosial yang cepat, masyarakat pesisir Trienggadeng dan Panteraja tetap teguh menjaga kearifan lokal, menjadikannya sumber kekuatan moral dalam menghadapi tantangan hidup yang terus berubah.

Sementara itu, Kecamatan Bandar Baru memiliki kisah berbeda namun tak kalah menarik. Wilayah ini sejak dahulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan pergerakan ekonomi di kawasan Pidie Jaya. Bahkan, Bandar Baru sudah terkenal (meusyuhu) jauh sebelum Pidie Jaya berdiri sebagai kabupaten. Di sana pernah berdiri sebuah pelabuhan besar yang menjadi persinggahan saudagar dari berbagai negeri, termasuk dari Tiongkok. Sejumlah peninggalan artefak bercorak Tionghoa masih dapat ditemukan hingga kini, menjadi bukti nyata adanya hubungan dagang internasional pada masa lampau.

Kisah kejayaan masa lalu itu terus hidup dalam semangat masyarakat Bandar Baru hari ini. Jiwa niaga, ketekunan, dan keterbukaan terhadap dunia luar menjadikan mereka bagian penting dalam denyut ekonomi Pidie Jaya modern. Dari pasar tradisional hingga usaha skala besar, masyarakat Bandar Baru dikenal sebagai pekerja keras dan inovatif. Bersama masyarakat dari kecamatan lain, mereka membentuk wajah Pidie Jaya yang dinamis, religius, cerdas, tangguh, dan berdaya saing, sebuah potret daerah yang mampu menjaga akar tradisi sambil menatap masa depan dengan penuh keyakinan.

Lebih dari sekadar wilayah administratif, Pidie Jaya adalah cerminan budaya yang hidup dan berdenyut di tengah masyarakatnya. Kultur Pidie Jaya berpijak pada nilai peumulia jamee (memuliakan tamu), gotong royong, serta penghormatan tinggi terhadap ilmu dan adat. Di setiap gampong, masih terlihat tradisi kenduri, zikir bersama, dan musyawarah yang menjadi perekat sosial antargenerasi. Di antara modernitas yang kian deras, masyarakat tetap menjaga etika berbahasa, sopan santun, serta kesantunan khas Aceh yang lembut namun berwibawa. Nilai-nilai inilah yang menjadi fondasi moral dan spiritual, menjadikan Pidie Jaya bukan hanya kaya akan tokoh besar, tetapi juga berakar kuat pada budaya yang luhur dan beradab.

Pada akhirnya, Pidie Jaya bukan sekadar kabupaten muda yang berdiri di atas fondasi sejarah Aceh, melainkan rumah besar bagi karakter-karakter kuat yang lahir dari bumi yang sama namun tumbuh dengan keunikan masing-masing. Dari ketulusan para santri di Bandar Dua, kecerdasan para intelektual di Meureudu, hingga ketangguhan nelayan di Trienggadeng -  Panteraja dan jiwa niaga Bandar Baru, semua berpadu menjadi identitas yang utuh. Sebuah bukti bahwa kemajuan sejati berakar dari karakter, dan karakter itu telah lama tertanam dalam jiwa masyarakat Pidie Jaya. (TS)