17 November 2025
Budaya

Jejak Khanduri Blang di Trienggadeng: Tradisi, Doa, dan Warisan Tgk. Chiek Kayee Adang

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -
Para petani dari enam gampong di Kemukiman Trienggadeng kembali berkumpul di pekarangan Balee Tgk. Chiek Kayee Adang, Glee Boiboi, Senin (17/11), membawa berbagai bahan makanan dari rumah masing-masing. Ada yang menenteng beras, sebagian membawa kelapa, bawang, ayam kampung dan kambing, hingga santan segar. Semua bahan itu diletakkan di tengah balai, lalu diolah bersama menjadi hidangan khas kenduri. Di bawah pepohonan yang rimbun, aroma masakan mulai menyatu dengan percakapan ringan para petani yang tampak akrab satu sama lain.

Tradisi berkumpul sembari memasak bersama itu bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan simbol kebersamaan yang diwariskan turun-temurun. Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, para petani di Trienggadeng masih merawat nilai gotong royong sebagai fondasi hubungan antarwarga. Sebelum memasak selesai, mereka duduk melingkar sambil menunggu tibanya waktu doa bersama, sebuah momen yang dianggap inti dari keseluruhan perayaan.

Doa bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat, sementara para peserta menundukkan kepala dalam khusyuk. Suasana berubah hening, hanya terdengar lantunan doa yang memohon keselamatan, kelancaran musim tanam, serta dijauhkan dari segala hama dan bencana alam. Di antara mereka, terpancar harapan baru untuk sawah yang sebentar lagi akan diolah, seolah mereka mempercayakan masa depan pada harmoni antara manusia dan alam.

Musri, Imum Mukim setempat, mengatakan bahwa Kenduri Blang bukan hanya ritual budaya, melainkan bagian dari filosofi hidup masyarakat Aceh. Menurutnya, tradisi ini merupakan ungkapan syukur atas panen sebelumnya sekaligus doa agar panen mendatang lebih baik. “Pertanian adalah urusan bersama, bukan milik satu orang. Karena itu kita harus saling membantu,” ujarnya. Musri menyebut, nilai moral yang diwariskan melalui khanduri ini adalah kesadaran untuk menjaga keseimbangan alam dan tidak serakah dalam mengolah lahan.

Khanduri Blang di Trienggadeng juga menjadi wadah untuk memperkuat hubungan antar petani. Mereka berbagi cerita mengenai kondisi sawah, bibit tahun ini, hingga pengalaman menghadapi serangan hama. Diskusi itu mengalir seperti aliran irigasi yang membelah persawahan mereka. Kehadiran ratusan petani dari enam gampong menjadikan acara ini semakin meriah, sekaligus menegaskan bahwa tradisi ini tetap hidup di tengah perubahan zaman.

Namun yang membuat tradisi ini semakin punya nilai sejarah adalah lokasinya di Balee Tgk. Chiek Kayee Adang yang menyimpan kisah panjang tentang ulama pendatang dari Timur Tengah. Menurut cerita yang diwariskan orang tua dulu, Tgk. Chiek Kayee Adang adalah sosok yang membawa ilmu agama sekaligus membuka lahan persawahan pertama di Trienggadeng. Jejak perjuangan beliau kemudian menjadi dasar berkembangnya wilayah ini sebagai kawasan pertanian di Pidie Jaya.

Warisan Tgk. Chiek Kayee Adang tidak hanya melekat pada bangunan baleenya, tetapi juga pada cara masyarakat memahami tanah dan hasil bumi. Mereka mempercayai bahwa mengolah sawah bukan sekadar mencari nafkah, tetapi tanggung jawab spiritual yang menuntut keharmonisan antara manusia, tanah, dan Sang Pencipta. Khanduri Blang menjadi penanda bahwa nilai-nilai itu masih dijaga dengan teguh.

Matahari siang mulai meninggi, saat hidangan kenduri disantap bersama. Senyum dan tawa mengisi ruangan balai, menutup rangkaian acara dengan kehangatan. Di balik kesederhanaan makanan yang dinikmati, para petani merasakan energi kebersamaan yang menyatukan mereka, sebuah warisan budaya yang terus hidup, menyambungkan masa lalu, kini, dan masa depan warga serta petani di  Kemukiman Trienggadeng. (**)

Kuburan Tgk. Chik Kayee Adang, di Glee Boboi, Peulandok, Kecamatan  Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh.