LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Dalam bahasa Aceh, setiap hari dalam sepekan memiliki nama khas yang tidak hanya berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah masyarakat Aceh. Penamaan hari-hari ini diwariskan turun-temurun dan masih digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama di daerah pedesaan yang masih kental dengan tradisi bahasa Aceh.

Hari Minggu dalam bahasa Aceh disebut Aleuhad. Kata ini memiliki nuansa istimewa karena Aleuhad sering dianggap sebagai hari istirahat atau waktu berkumpul bersama keluarga. Pada hari ini, banyak orang Aceh yang memanfaatkan waktu untuk bersantai setelah sepekan bekerja, atau menghadiri kegiatan keagamaan dan sosial di lingkungan mereka.

Memasuki awal pekan, hari Senin dikenal sebagai Seunanyan, disusul dengan hari Selasa yang disebut Seulasa. Kedua hari ini biasanya menjadi simbol dimulainya kembali aktivitas dan semangat bekerja. Di sekolah-sekolah Aceh, anak-anak sering mendengar guru mereka menyebut, “Uroe nyoe Seunanyan” artinya, “hari ini hari Senin” sebagai bentuk pelestarian bahasa daerah di lingkungan pendidikan.

Selanjutnya, hari Rabu disebut Rabu, sama seperti dalam bahasa Indonesia, sementara hari Kamis dikenal dengan sebutan Hameh. Hameh sering dianggap sebagai hari yang penuh berkah, karena pada malam harinya banyak masyarakat Aceh melaksanakan pengajian atau kegiatan keagamaan lainnya menjelang hari Jumat yang suci.

Akhir pekan ditutup dengan dua hari penting Djeumeu’at untuk hari Jumat dan Satu untuk hari Sabtu. Djeumeu’at merupakan hari yang sangat dihormati, karena umat Islam melaksanakan salat Jumat berjamaah dan memperbanyak ibadah. Sementara itu, Satu menjadi hari yang lebih santai, di mana sebagian orang mulai bersiap menghadapi minggu. Dengan demikian, nama-nama hari dalam bahasa Aceh tidak sekadar istilah, melainkan juga cerminan nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas masyarakat Aceh yang kaya makna. (**)