Guci dari Madinah Warisan Budaya Islam di Masjid Teungku Di Pucok Krueng Meureudu
Foto : Muhammad Ikbal, ST | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di Masjid Teungku di Pucok Krueng Beuracan, Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, terdapat sebuah guci antik yang penuh dengan keberkahan. Guci tersebut terisi air yang meski awalnya tampak kurang jernih saat dimasukkan, namun dengan kehendak Allah, air yang diambil dari dalamnya berubah menjadi sangat jernih. Fenomena ini menjadi bukti kebesaran Allah yang selalu menurunkan keberkahan-Nya melalui hal-hal yang tampak sederhana.
Guci itu kini tertanam di dalam tanah dengan bagian leher dan mulutnya yang masih terlihat. Pengurus masjid menutupi guci tersebut dengan kain putih sebagai bentuk penghormatan, serta menjadikannya sebagai pembatas agar lebih terjaga kesuciannya. Keberadaan guci ini tidak hanya membawa keindahan fisik, tetapi juga menjadi simbol karunia yang tak terhingga dari Allah yang tersimpan dalam warisan masa lalu.
Adab-adab tertentu juga dipegang teguh oleh masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan guci ini. Terdapat ketentuan bahwa air guci tidak boleh diambil oleh perempuan yang sedang dalam keadaan haid. Jika ketentuan ini dilanggar, maka air di dalam guci akan berubah bau, dan harus segera diganti keesokan harinya. Ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesucian dan mematuhi aturan syariat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan barang-barang peninggalan bersejarah yang diberkahi.
Menurut sejarah yang dipercaya masyarakat, guci ini berasal dari Madinah. Pada zamannya, ulama besar seperti Teungku di Pucok Krueng, Tgk Japakeh, dan Tgk Malem Dagang, membawa guci tersebut ke Aceh dalam rangkaian dakwah mereka menyebarkan agama Islam. Kisah guci ini menjadi saksi sejarah penyebaran Islam di daerah tersebut, mengingatkan kita akan semangat para pendakwah yang ikhlas menebarkan cahaya Islam ke pelosok-pelosok negeri.
Keberkahan air guci ini juga dirasakan langsung oleh para jamaah yang beribadah di masjid tersebut. Seorang jamaah, Muhammad Iqbal, usai menunaikan shalat Jumat, meminum dan mencuci muka dengan air dari guci tersebut. Iqbal dan masyarakat setempat meyakini bahwa air guci ini memiliki khasiat penyembuhan, dengan izin Allah, untuk berbagai penyakit, baik fisik maupun batin.
Namun, di balik keberkahan dan sejarahnya yang panjang, masyarakat tetap merasa waspada akan keamanan guci ini. Kekhawatiran akan pencurian dari pihak-pihak yang mengincar benda-benda antik tetap ada. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha menjaga dan melestarikan guci ini, agar keberkahan yang ada di dalamnya terus terjaga, dan tetap menjadi saksi sejarah yang penuh hikmah bagi generasi mendatang. (**)